Wednesday, 8 April 2009

:: Sang Peletak Pondasi Telah Pergi

INMEMORIAM ANDI MUNAJAD, (Wafat 27 Maret 2009) Friday, March 27, 2009 at 9:37pm

Saya memasuki koridor Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok bersama beberapa orang kawan . Saya masuk kedalam sebuah bangsal pasien kelas ekonomi yang berjejer seperti ikan pindang. Mata saya memandang setiap tempat tidur pasien mencari seseorang. Saya bola-balik untuk memastikan apakah pandangan saya yang salah. Untuk lebih memastikan saya menuju kamar mandi pasien membuka pintunya dan ternyata kosong. Saya lalu mendatangi seorang suster jaga di bangsal itu.

”Suster pasien yang dikasur sana, yang bernama Andi Munajad ada dimana?” tanya saya sambil menunjuk kasur yang kosong. Kemarin andi Munajad kami bawa kesana karena sudah beberapa hari demam tinggi sambil menggigil. Setelah dibawa kerumah sakit dipastikan bahwa ia terkena Thyphus (tipus),sebuah penyakit yang kerap kali menimpa aktivis dijaman itu. Andi Munajad sendiri kemudian terkena Hepatitis B karena pekerjaan yang padat, gizi dan instirahat yang kurang. Suatu kondisi yang lazim untuk aktivis dimasa itu. Setelah mendapatkan ruangan, obat dan infus kami meninggalkan Andi Munajad dengan maksud untuk mencari dana untuk biaya pengobatan.

Saya keluar dari rumah sakit dengan perasaan galau, kuatir dan cemas. Dengan bergegas saya lalu menuju Jl. Fatimah di Pondok Cina, markas kawan-kawan FBB untuk memberi kabar dan mencari tahu keberadaan kawan saya tersebut. Tiba di Jl. Fatimah saya diberitahu oleh kawan-kawan bahwa Andi Munadjad ada di dalam kamar, sedang tergeletak di atas tikar. Saya langsung menemuinya dan bertanya mengapa dia sudah ada di sini bukankah baru kemarin masuk rumah sakit.

”Aku kabur dari rumah sakit semalam son,” ujar Munajad lirih.

”Kenapa pula kau harus kabur, kau kan baru masuk”, ujarku

” Saya tidak mau memberatkan kawan-kawan di Jakarta. Biaya rumah sakit pastilah mahal, dan aku tahu kawan-kawan di sini juga tidak punya dana, lebih baik aku dirawat di sini saja bersama kawan-kawan.”

Saya tidak tahu ingin marah atau sedih, bagaimanpun juga Munajad adalah orang penting dalam organiasi kami, kesehatan dan kehidupannya nyaris berdampak pada gerakan mahasiswa di jaman itu, paling tidak pada lingkaran dan jaringan politik kami di berbagai kota yang saat itu sedang memasuki tahap konsolidasi.


Pembangunan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan

Andi Munajad mungkin nama yang kurang akrab ditelinga generasi aktivis sekarang. Jangankan mengenalnya, mungkin mendengar namanya saja banyak yang baru tahu. Namun bila kita hendak membicarakan kebangkitan dan pengorganisiran gerakan mahasiswa raikal, progresif-kerakyatan di akhit tahun 1980-an, maka Munajad adalah salah SEORANG PELETAK PONDASINYA. Di atas pondasi yang dia bangun bersama kawan-kawannya, bangunan gerakan mahasiswa raikal kerakyatan tumbuh dan berkembang dan kemudian terkristalisasi dalam pembentukan Partai Rakyat Demokratik.

Munajad tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (mungkin angkatan 1985) yang kemudian menjadi fakultas basis gerakan mahasiswa radikal seperti SMID dan PRD hingga awal reformasi. Ia dikenal sebagai pendiri majalah filsafat PIJAR, yang saat itu menjadi salahsatu terbitan radikal yang isinya memuat sebuah bentuk oposisi dan perlawanan dari mahasiswa dan rakyat. Dari majalah Pijar inilah proses pendidikan politik dan rekutmen aktiis di Filsafat UGM tahap awal dilakukan, termasuk disini ada istri saya Nor Hiqmah atau Nezar patria yang sekarang menjadi Ketua Umum AJI.

Gerakan mahasiswa di Yogya mulai tumbuh sebagai gerakan radikal sejak pertengahan tahun 1980-an dan makin terkristalisasi ketika kasus pembangunan waduk Kedung Ombo yang dibiayai World Bank mulai dilakukan oleh pemerintah Orba dengan melakukan pengusuran paksa. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta menjadi basis solidaritas untuk mengorgansisir mahasiswa untuk menolak pembangunan kedung Ombo baik dengan aksi-aksi di Yogya, Jakarta maupun di lokasi pembangunan waduk di Kedung ombo sendiri. Munajad adalah salah seorang pelaku utama dari aksi-aksi solidaritas ini. Solidarits Kedung Ombo menjadi penting buat gerakan mahasiwa karena menyeret mahasiswa pada isu-isu populis-kerakyatan, penentangan pada kapitalisme global dan menjadi alat konsolidasi gerakan mahasiswa sekaligus.

Pada awal tahun 1990an tersebut bermunculan berbagai poros perlawanan gerakan mahasiwwa dan rakyat yang saling terkait satu sama lain. Kelompok Rode yang bermarkas di jalan Rode menjadi salah satu basis gerakan yang penting sat itu. Dari sini juga lahir Budiman Sudjatmiko yang menjadi ketua PRD dan sekarang aktivis PDIP hingga Ifdal Kasim yang menjadi Ketua Komnas Ham sekarang ini. Basis lain adalah kelompok FKMY yang merupakan wadah gerakan mahasiswa ditingkat lokal yang dipimpin oleh mahasiswa ISI Yogyakarta yaitu Seno dkk. Munajad terlibat dalam awal-awal pementukan FKMY, namun kemudian ia keluar dan mendirikan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, yang menjadi embrio dari SMID Yogyakarta dimana dia sebagai koordinatornya. Selain itu juga muncul kelompok Komite Rakyat (KR), sebuah organisasi yang mempunyai ikatan dan pengaruh di gerakan mahasiswa untuk memberikan perspektif kerakyatan dan ideologis. Figur yang dikenal luas di KR ini adalah Awang dan Webi Warouw. Dalam pembentukan dan perjalanan kemudian antra KR dan SMID mempunyai keterkaitan politik dalam upaya pembangunan gerakan-gerakan sektoral yang lebih luas dan pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik. Dalam konteks inilah Munajad tumbuh sebagai seorang organiser dan tokoh gerakan mahasiswa tingkat lokal yang juga dikenal luas oleh jaraingan gerakan di kota-kota lain.

Sejarah politik Munajad selanjutnya akan berkisar disekitar pembangunan gerakan mahasiswa radikal progresif kerakyatan berwatak nasional bernaman Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID). Dan harus di akui SMID tidak hanya memberikan dampak luas dalam gerakan mahasiswa tapi juga untuk gerakan buruh progresif, gerakan tani, gerakan kaum miskin kota hingga pembentukan Partai Rakyat Demokratik. Dari seluruh pembangunan organ gerakan rakyat tersebut PARA AKTIVIS SMID MENJADI ORGANISER-ORGANISER HANDAL yang kemudian keluar dari gerakan mahasiswa dan bertransformsi dalam pembangunan gerakan rakyat di basis-basis perkotaan, industrial dn pedesaan.

Gagasan pembentukan SMID sudah dibicarakan sepanjang tahun 1992 untuk mengatasi sektarianisme dan tidak adanya kesatuan aksi dan tindakan sebagai buah dari perlawanan mahasiswa sejak akhir 1980-an. Akhirnya sekitar bulan November 1992, dengan ’mendompleng’ pada workshop Asian Students Association di Cisarua, Bogor, diadakan pertemuan perwakilan antar kota untuk mengatasi sektarianism. Hasil dari pertemuan tersebut adalah dibentuk organisasi yang masih cair berbentuk Presidium Nasional yang diwakili perwaklian tiap kota dengan nama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Terpilih sebagai koordinator Presidium adalah Andi Munajad, wakil dari SMY yang dianggap bisa diterima semua kelompok dan mewakili gerakan mahasiswa termaju dijaman itu. SMID saat itu tak lebih kapsitasnya sebagai wadah komunikasi antar gerakan, belumlah menjadi sebuah wadah unitaris seperti perkembangannya dikemudian hari.

Munajad menindak lanjuti hasil pertemuan Cisarua itu dalam suatu ikatan organissasi dan program-program bersama dan pembentukan kepengurusan yang akan menjadi mesin konsolidasi jaringan. Munajad lalu mengadakan Konfrensi Yogyakarta pada tahun 1993 dirumah Danuri, aktifis SMY di sebuah desa yang kami sambangi tengah malam buta dengan berjalan kaki.

Konferensi SMID di Yogyakarta di hadiri oleh perwakilan-perwakilan presidium organisasi dari daerah yang saat itu masih menggunakan ’identitas lokal’ mereka. Perwakilan yang hadir antara lain dari Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ), Solidaritas Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, perwakilan dari Solo, perwakilan dari Surabaya. Salah satu hasil penting dari konferensi adalah mengukuhkan Andi Munajad sebagai Sekjen SMID dan membentuk pengurusan organisasi. Hasil penting dari pertemuan adalah upaya untuk mengubah ’identitas organisasi lokal’ menjadi organisasi nasional dengan mengubah organisasi lokal menjadi organisasi cabang-cabang SMID. Sejak itu diisntruksikan agar aksi-aksi di lokal mulai menggunkana nama SMID. Status SMID juga diputuskan berstatus semi-legal, artinya dalam aksi-aksi terbuka program dan banner SMID dapat dikibarkan, namun kepengurusan dalam strukturnya tetaplah tertutup kepada penguasa. Juga dibicarakan tentang perluasan kontak organisasi SMID ke kota-kota lain seperti Manado, Palu, Makasar, Medan. Konfrernsi juga memutuskan kepengurusan yang terbentuk ditugasi untuk mempersiapkan sebuah Kongres Mahasiswa untuk pembentukan SMID secara lebih luas dan legitimate pada tahun 1994. Dalam kepengurusan SMID tersebut saya duduk sebagai star Dept. Pendidikan dan Propaganda dan Hubungan Internasional, sebab saat itu SMID sudah menjadi anggota Asian Students Association yang bermasrkas di Hong Kong.

Konferensi Yogykarta menjadi penting karena mulai sat itu diletakan pondasi gerakan mahasiswa radikal-progresif-kerakyat
an yang berwatak nasional untuk mengatasi watak sektarianisme yang melekat pada organ-organ mahasiswa di tingkat lokal jaman itu. Konferensi Yogyakata juga menjadi penting dalam perluasan geografi perlawanan mahasiswa radikal kerakyatan yang saat itu sangat berpusat pada jawa-sentris dengan membangun jaringan dengan gerakan mahasiswa di Manado, Palu, Medan dan Makasar. Kota-kota yang dikemudian hari berdiri cabang-cabng SMID . Munajad berperan bagaikan seorang ’konduktor’ yang sangat menentukan dalam proses orkestra pembangunan gerakan mahsiswa radikal tersebut. Sebagai Sekjen ia berkeliling ke berbagai kota untuk membangun jaringan SMID, memberikan pendidikan politik, dan terlibat dalam berbagai aksi.

Boleh dikatatakan tidak ada waktu bagi Munajad untuk beristirahat. Saat itu belum ada internet dan handphone untuk koordinasi. Semua harus dilakukan dengan pertemuan fisik. Saya menduga semua pekerjaan besar tersebut menjadi salah satu ’sebab utama’ Munajad terkena thyphus dan kemudian Hepatitis B. Pekerjaan tersbut sangat tidak diimbangi dengan istirahat dan cakupan gizi yang masuk kebadan. Benda yang paling sering masuk ke dalam tubuhnya adalah kopi dan tarikan asap rokok. Perjalanan antar kota juga tidak dinikmati dengan pesawat seperti kemanjaan aktivis sekarang, tapi harus menjadi penumpang gelap kereta ekonomi dan kucing-kucingan dengan kondektur dan Polsuska. Dalam urusan penumpang gelap ini tampaknya hampir semua aktivis SMID dijaman itu terlatih dengan baik. (he..he..he).

Pertemuan penting yang sangat menentukan strategi SMID adalah pertemuan presedium Nasional dan cabang-cabang SMID di Jakarta, di kawasan Cilincing, Jakarta Utara di rumah Ari Kumis, salah seorang anggota SMID dari ISTN.

Sekitar pertengahan April 1994, merespon pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik dan mulai merebaknya aksi-aksi perlawanan kaum buruh, kepemimpinan SMID nasional di bawah Munajad memutuskan mengagendakan sebuah rapat Presidium Nasional SMID yang dihadiri perwakilan dari Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang dan Surabaya.

Hasil rapat Presidium SMID yang dipimpin Andi Munajad ini ini menurut saya menjadi penting karena MENJADI PONDASI BAGI GERAKAN MAHASISWA RADIKAL KERAKYATAN UNTUK BERTRANSFORMASI MENJADI GERAKAN BERWATAK KELAS. Inilah pondasi kedua yang dibangun SMID di bawah kepemimpinan Andi Munajad. Di atas pondasi yang dia letakan ini tumbuh dan berkembnang gerakan buruh radikal seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan FNPBI sebagai suksesornya.

Melihat terus berlanjutnya perlawanan kelas buruh, kita sadar bahwa ANDI MUNAJAD TIDAK PERNAH AKAN MATI, DIA ADA DITIAP LANGKAH PERLAWANAN KELAS PEKERJA.

Ada baiknya kalau kita mengetahui sedikit konteks dan kontribusi dari SMID saat itu pada pembangunan percepatan gerakan buruh dan memberikan orientasi ideologis berbasis kelas pada gerakan mahasiswa jaman itu.

Dari Gerakan Mahasiswa menuju Gerakan Buruh

Keputusan penting dan monumental dari Rapat Presidium SMID di Cilincing adalah interfensi gerakan mahasiswa dalam gerakan buruh, mendorong pembentukan serekat buruh dan aksi-aksi aliansi antara buruh dan mahasiwa. Sebuah era baru dalam strategi gerakan mahasiswa akarnya dapat ditarik dari keputusan organisasi SMID pimpinan Munajad dalam rapat pleno Cilincing ini. Dari sinilah secara massif para kader SMID terjun ke wilayah industri, membangun kontak dengan buruh, berdiskusii, mencatat penindasan industrial dan lalu mengorganisir pemogokan. Dari sinilah kristalisasi ideologisasi sosialisme di dalam SMID tumbuh meluas dan menjadi keyakinan baru dengan kelas buruh sebagai pelopor utamanya.
Harus diakui salah satu pekembangan yang juga penting dalam sejarah gerakan kiri Indonesia adalah peran yang diambil oleh gerakan mahasiswa untuk mendukung perjuangan kaum buruh. Masuknya mahasiswa dalam perjuangan buruh terpolarisasi dalam perjuangan moral dan perjuangan yang lebih ideologis untuk menghadapi kapitalisme.
Sejak tahun 1990 hingga Juli 1996, tercatat 32 aksi buruh yang mendapatkan dukungan dari mahasiswa. Aksi ini terjadi di Yogyakarta, Surabaya, Jombang, Medan, Jabotabek, Solo, Palu dan Semarang. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi tersebut meliputi Solidaritas Forum Komunikasi Mahaiasiwa Yogyakarta (FKMY), Solidaritas Komite Mahasiswa Pembela Buruh Indonesia, Aksi Komite Solidaritas Mahasiswa untuk Hak-Hak Pekerja, Aksi Doa Solidaritas Untuk Marsinah, Komite Solidaritas Buruh-Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Forum Solidaritas Pembelaan Hak-Hak Buruh dan Aksi Solidairtas Buruh-Mahasiswa IAIN Semarang.
Selain terlibat dalam berbagai aksi, banyak pula kelompok studi ‘kiri’ yang juga terkait dengan gerakan mahasiswa yang melakukan pengorganisiran ke buruh dengan bekerjasama dengan LSM, yang bertindak sebagai fasislitator.
DI Jakarta kelompok Forum Belajar Bebas yang terdiri dari aktivis mahasiswa UI melakukan pengorganisiran buruh di Jabotabek. Dari keompok ini kemudian lahir salah seorang pimpinan perjuangan buruh Dita Sari yang saat itu masih menjadi mahasiswa FHUI. Mayoritas anggot FBB adalah mahasiswa Fakultas Sastra. Dalam pengorganisiran kelompok ini juga dibantu oleh Yayasan Maju Bersama, sebuah LSM perburuhan yang dipimpin oleh para alumnus fakultas sastra yang aktif dalam advokasi dan pendidikan perburuhan.
Di luar FBB juga terdapat kelompok studi kiri Wahana Pembebasan dan Depok School yang melakukan pengorganisiran kaum miskin kota dan buruh dengan difasilitasi oleh Yayasan Kepodang, sebuah yayasan yang bergerak dalam pendidikan pembebasan bagi kaum miskin dan marginal. Para pendiri yayasan ini adalah para alumnus FISIP UI. Mayoritas anggota kelompok ini adalah mahasiswa FISIP UI. Beberapa pendiri Yayasan kepodang ini juga menjadi pendiri Yayasan Maju Bersama.
Di Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya juga melakukan pengorganisiran pada buruh industri dan truk di Tandes dan Surabaya. Kelompok inti dari FKMS adalah para mahasiswa Fakultas Hukum Unair dan ITS Surabaya. Kelompok ‘kiri’ ini juga berhubungan dengan para senior mereka yang aktif di LSM Cakrawala Timur (CT). CT bergerak dalam pendidikan dan advokasi perburuhan.
Di luar FKMS, kelompok PMII Surabaya juga melakukan pengorganisiran buruh di kawasan Rungkut, Surabaya. Sementara di Solo beberapa mahasiswa HMI juga terlibat dalam pengorganisiran dan pendidikan perburuhan. Di Medan para mahasiswa juga terlibat dalam pengorganisiian dan pendidikan kaum buruh. Salah satu LSM yang menjadi fasilitator adalah Yayasan KPS.
Dari semua kelompok di atas, SMID adalah organisasi mahasiswa yang secara tegas, teroganisir dan ideologis dalam memberikan dukungan kepada gerakan buruh. SMID dideklarasikan pembentukannya sebagai organisasi legal yang terbuka pada tanggal 3 Agustus 1994 di Jakarta. Organisasi ini mempunyai cabang diberbagai kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam program perjuangan SMID dikatakan persoalan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari persoalan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat Indonesia menurut SMID adalah masyarakat kapitalis yang didominasi oleh konglomerat dan kaum imperialis. Untuk mendukung kapitalisme tersebut digunakanlah sebuah pemerintahan yang otoriter. Semua partisipasi rakyat dalam politik di tindas dan dibungkam. Dengan Dwi Fungsi ABRI rejim militer menindas seluruh ruang demokrasi.
Dalam program politik SMID juga dikatakan “Mendukung dan terlibat dalam perjuangan buruh, petani, dan sector rakyat tertindas lainnya”. Pada alinea pertama butir satu dikatakan bahwa SMID “Memperjuangkan terbentuknya serikat buruh yang demokratis, melakukan aksi bersama-sama buruh, mengkampanyekan isu-isu buruh.” Dalam sebuah diskusi tentang gerakan buruh yang didakan oleh SMID dan YLBHI di Depok, salah seorang panelis yang mewakili SMID, Jacobus Kurniawan (dikenal dengan sebutan Iwan pilat) menulis:

“ Tidak ada persepsi yang mayoritas dari mahasiswa bahwa gerakan buruh adalah gerakan yang mempelopori atau merebut demokrasi. Saya pikir gerakan protes dari mahasiswa itu harus kita dorong untuk kepentingan kelas pekerja. Kita harus memanfaatkan radikalisme aksi-aksi protes dari gerakan mahasiswa dengan mengangkat sentimen-sentimen kerakyatan ini… Adalah dari hasil gerakan mahasiswa yang kita dorong untuk melahirkan kader atau pimpinan yang militan dan tangguh serta teruji dalam praktek untuk menceburkan atau dicemplungkan ke massa kualitiatif atau buruh, dimana dia bisa mengalami secara riil, dimana dia bisa menggunakan senjata bertempurnya yang selama ini dipelajari kedalam gerakan buruh…Dari mahasiswa yang sudah teruji dan organisasi buruh yang sudah teruji bisa dipertemukan sebuah agenda politik bersama dimana tuntutan untuk kebebasan berorganiasi disetiap sector masyarakat akan diperjuangkan.
Kenapa Kelas buruh atau gerakan buruh menjadi kiblat kita?
Sejarah mencatat dari negara yang benar-benar demokratis bahwa kepeloporan yang demokratis yang dipimpin atas inisiatif dari gerakan buruh yang diwarnai oleh ilmu-ilmu atau teori-teori yang maju, yang berangkat dari kaum terpelajar atau mahasiswa. Artinya kita bisa lihat atau kawan-kawan yang sudah berpengalaman dalam mengorganisir pemogokan di pabrik kita bisa lihat bahwa kekuatan buruh adalah riil, dia bisa menjatuhkan keuntungan pabrik yang selama satu hari bisa 100 juta lebih. Dari situ kita bisa lihat kepeloporan atau pondasi riil secara politik dan secara ekonomi… Kita bisa membayangkan jika bisa mengorganisir buruh disetiap kota untuk melakukan pemogokan, tuntutan yang dilakukan terhadap pemerintah, terhadap negara yang kapitalis, akan kita uji dari pengorganisiran pemogokan yang selama ini kiat lakukan.”

Pertarungan internal didalam SMID untuk memberikan kepemimpinan ideologis apakah SMID akan memprioritaskan kepada kelas buruh atau kaum tani terjadi dalam pertemuan Presidium Nasional SMID di Jakarta pada bulan April 1994.
Dalam pertemuan tersebut terdapat dua kubu utama, yaitu kubu Jakarta’ yang terinspirasi dengan taktik-strategi kaum Bolshevik berhadapan dengan ‘kubu Yogyakarta’ yang terinspirasi dengan perjuangan kaum tani di RRC. Kubu Jakarta ini mendapatkan dukungan penuh dari SMID Semarang yang juga mempelopori gerakan buruh di Semarang. Kubu Yogyakarta sendiri akhirnya terbelah menjadi dua, sebab beberapa orang pimpinannya kemudian mendukung strategi dari ‘kubu Jakarta”.
Akhirnya pertemuan Presidum Nasional SMID memutuskan bahwa SMID akan memberikan dukungan prioritas dan mengintegrasikan taktik-strategi perjuangannya untuk mempercepat perlawanan dan pengorganisiran kaum buruh.
Untuk sampai pada tahap menjadi bagian dari gerakan buruh SMID memutuskan suatu propaganda nasional untuk mensosialissikan persoalan dan perjuangan kaum buruh di Indonesia melalui serangkaian diskusi/seminar dan terbitan. Untuk itu semua terbitan SMID atau terbitan kampus yang dipengaruhi SMID harus berinisitaif menjadikan isu perburuhan sebagai isu utama, atau menyediakan rubrik khusus untuk mempropagandakan perjuangan kaum buruh.
Dalam terbitan-tebitan mahasiswa tersebut juga mulai dimasukan tulisan-tulisan yang ditulis oleh kaum buruh yang sudah maju. Dalam majalah Vokal, IKIP Semarang, Februari 1995 dimuat sebuah tulisan dari seorang buruhyang berjudul “Mengapa Aku Sebagai Buruh Butuh Demokrasi?”

“Dari semua itu, aku sebagai buruh sadar akan arti pentingya demokrasi bagi kaum buruh, sebab dengan demokrasi aku bisa membentuk organisasi buruh yang demokratis juga. Artinya organisasi yang dibentuk dan dikelola oleh buruh untuk memperjuangkan kepentingan menjadi hidup yang lebih baik. Tidak menutup untuk bekerja bersama dengan mahasiswa yang pro demokrasi”

Setelah tahapan propaganda dilakukan, tahapan berikutnya adalah program eksposure atau live in dilingkungan kaum buruh. Program ini merupakan sebuah seleksi penting, dimana aktivis mahasiswa harus tinggal dipemukiman buruh, mencari kontak, mengetahui persolan di pabrik dan mencatat kehidupan buruh. Dengan cara ini keperpihakan mahasiwa kepada buruh menjadi tidak sebatas teori. Tujuan eksposure ini menurut SMID mempunyai tiga tujuan yaitu:

“Pertama; menghancurkan watak borjuis kecil yang arogan, kelewat teoritis dan oportunis. Dengan hancurnya watak borjuis kecil ini diharapkan para aktivis mahasiswa dapat melakukan bunuh diri kelas dan sadar akan pentingnya kekuatan buruh.
Kedua; Mengetahui secara langsung kehidupan kaum buruh dari hari kehari. Dengan mengetahui kehidupan sehari-hari kaum buruh, para mahasiswa dapat mematerialkan yang dia dapat dari buku-buku dan diskusi.
Ketiga; Melatih mahasiswa untuk paham persoalan buruh dan mampu memblejetinya secara makro/ekonomi-politik.” (Wilson, pamflet, hlm 29).


Bagaimanakah pengalaman sosiologis seorang aktivis gerakan mahasisiwa ketika harus hidup ditengah-tengah kaum buruh? Seorang peserta eksposur perempuan dari SMID Jabotabek, Linda Christanty menuliskan pengalamannya;

“ Bulan Desember tahun lalu curah hujan menggasak sekujur tubuh dan malam menjadi lebih dingin. Aku memasuki lorong sempit gelap yang merupakan pintu gerbang ke sebuah pemukiman buruh yang menyerupai labirin. Bau pesing bercampur tanah menguap dari permukaan jalan setapak yang licin. Bau khas kotoran manusia ikut menguap dari lubang-lubang kakus yang terbuka. Di muka pintu-pintu barak yang terbuat dari kayu kasar murahan dikapur putih, satu dua orang buruh berdiri sambil bercakap dan cekikikan. Musik dangdut terdengar samar-samar, sehingga tak sanggup menghapuskan kesan sunyi di dunia yang satu ini. Seorang nenek tengah meninabobokan cucunya dalam buaian di muka barak yang lain. Ketika aku menanyakan nama seseorang dalam bahasa Indonesia, ia hanya tersenyum dan menjawab dalam bahasa Jawa yang tak ku pahami.
Aku berjalan terus, mengikuti petunjuk peta yang diberikan kepadaku. Lorong yang bercabang-cabang dan pengab itu membuat perutku terasa mual. Sinar Mataharipun tidak dapat leluasa menerobos kedalam, sedangkan lampu listrik kamar 5 watt baru menyala pada pukul lima sore dan dimatikan alirannya pada pukul delapan pagi. Lorong-lorong tersebut diberi atap anyaman bambu, tanpa lubang-lubang udara, membuat siang hari tidak pernah hadir benar disini. Barak-barak berukuran 2 X3 meter persegi diisi oleh tiga sampai empat orang buruh pabrik garmen dan tekstil dikawasan tersebut, dengan uang sewa Rp. 20.000 sebulan. Mereka bekerja sesuai shift yang ditetapkan perusahaan (shift 1: pukul 07.00-15.00, shift 2: pukul 15.00-23.00, shift 3” pukul; 23.00-07.00). dan sering ditambah kerja lembur yang diwajibkan. Upah mereka sangat rendah, sehingga mereka hanya mempunyai anggaran Rp 700-setiap hari untuk tiga kali makan. Utang yang tidak ada habis-habisnya (gali lubang, tutup lubang) sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.
Orang yang belum pernah tinggal dan hidup bersama buruh-buruh tentu mempunyai gambaran dramatis bahwa mereka pasti selalu nampak murung,loyo dan merintih dalam kemiskinan. Gambaran ini setidaknya diyakini sebagai bukti betapa tertindas dan menderitanya kaum buruh dikalangan awam.” (Wilson, hlm 30).


Epilog

Andi Munajad adalah contoh terbaik dari seorang aktivis yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pembangunan gerakan demokrasi dan kekuatan rakyat. Ketika transisi demokrasi terjadi di tahun 1998, ia merupakan ’unsing hero’ yang mempunyai peran besar didalamnnya. Dengan pondasi gerakan yang ia bangun sejak akhir 1980an, Munajad akan terus kita kenang sebagai kawan, sahabat, ayah dan pejuang yang sederhana, tanpa pamrih dan selalu mengedepankan orang lain dan gerakan diluar kepentingan pribadinya. Sikap-sikap seperti ini justru makin langka kita temui dalam praktek dan kehidupan nyata sekarang ini. Kehilangan sosok sepertinya adalah kehilangan besar buat kita semua, namun dengan pondasi yang ia bangun, maka kita layak untuk berkata bahwa Munajad tidak akan pernah mati, ia akan selalu hidup dalam hati, kenangan dan tiap langkah gerakan yang sampai sekarang terus berlanjut.

SELAMAT JALAN KAWAN ANDI MUNAJAD !

WILSON

*) Tulisan ini untuk mengenang sahabat, kawan, ayah dan pejuang rakyat Andi Munajad yang wafat pada hari Jumat, 27 Maret 2009

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=72654311418&id=726175644&ref=mf)

No comments:

Post a Comment