Wednesday, 8 April 2009

:: Andi Munadjat versi Pinggiran oleh Ragil Nugroho

PEMULA YANG DISINGKIRKAN (Catatan Kaki Tentang Andi Munadjat)

Catatan:
Kalau Wilson di FB menuliskan sejarah Andi Munadjat versi Jakarta/keraton yang penuh puja-puji, aku akan menuturkan sejarah Andi Munadjat versi pinggiran.

***
aku menatapmu terbungkus lumut
lupa kau pernah ada
hanya jejak samarmu yang pernah kulihat
di antara reruntuhan puing masa silam

sejarahmu tragis,
kau dikuburkan oleh zamanmu sendiri
dan,
sang penguburmu kini berpesta menjadi badut-badut
memungkiri cita-citamu

kini,
kau telah pergi dengan sederhana
tanpa prasasti dan tabur bunga

sekarang,
setelah kepergianmu,
ada yang ingin menjadikanmu sebagai berhala
tapi,
aku hanya ingin mencatatmu
sebagai pemula yang dilupa!

(Mengantar Kepergianmu, Jogja, 30 Maret 2009)

Tembang Kenangan di Halaman Fakultas Filsafat UGM
Malam itu, tanggal 2 April 2009, halaman Fakultas Filsafat UGM dipayungi langit yang hamil hujan. Sebuah banner, kira-kira berukuran 2 X 6 meter, terpasang menghadap ke arah barat dan bertuliskan: Peletak Pondasi. S. Hamzah/Hamcrut (seorang perupa kiri yang sedang memperdalam seni rupa kerakyatan ala Basuki Reksobowo) sibuk ke sana kemari mengatur persiapan acara. Dia memang sebagai penggagas acara malam itu: Peringatan 7 Hari Meninggalnya Andi Munadjat.

“Ini persis dengan acara mogok makan dulu, Ndog. Aku mengerjakan sendiran,” ujar Hamcrut kepadaku. Setelah berkata begitu, kuperhatikan Hamcrut langsung merapal mantra agar hujan tak mengguyur halaman Fakultas Filsafat malam itu (aku sudah hapal bagaimana Hamcrut menyiapkan mantranya karena beberapa kali pernah diajak ketika dia sedang bertugas “menyediakan payung” untuk berbagai event). Orang sudah banyak tahu, selain sebagai perupa kiri, Hamcrut juga dikenal dengan pawang hujan kiri (artinya, dia mampu menjelaskan bagaimana cara mencegah turunnya hujan dengan analisa MDH).

Sekitar 11 tahun silam, Hamcrut bersama Manik Widjil Sadmoko (Admo) memang menggagas acara mogok makan di halaman Fakultas Filsafat UGM. Dari mogok makan inilah kemudian lahir KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), salah satu organisasi mahasiswa-rakyat yang memelopori aksi radikal di Jogjakarta untuk menggulingkan Soeharto. KPRP inilah yang melambungkan nama Haris “Aples” Moti yang dulu bukan siapa-siapa (seorang laki-laki berkulit hitam legam, selegam sejarahnya, yang selalu datang ke acara mogok makan dengan membawa koran yang digulung), namun sekarang telah menjadi selebriti politik di Jakarta. Bila sejarah bisa memakai kata “seandainya”, maka seandainya KPRP tidak melahirkan orang seperti Haris “Aples” Moti, bisa dibilang sejarah KPRP akan “bersih” dari “kotoran”.

Waktu terus menanjak menuju malam. Satu persatu undangan mulai datang. Ada yang datang sendiri, ada pula yang datang bersama keluarga. Terlihat nama-nama beken seperti Awang Krisna Mukti—aktivis tua yang malam itu kembali masuk kampus—Hari “Beggy” Subagyo—ideolog kaum tani yang sekarang berselingkuh dengan buruh/aktivis LSM berbakat/staf ahli Menkes Fadilah Supari —Kiswondo—sastrawan kiri yang kini menekuni penulisan sejarah—Etsar—Dekan Fakultas Filsafat/adik kelas Andi Munadjat—Damai Pakpahan, Nico Warow, Erna “Bono”, dan PRD versi PBR dari Solo seperti Kelik Ismunanto, Nandar, Sindu, Onong, serta undangan lain. Mereka duduk menyebar sambil menikmati wedang ronde dan nasi kucing yang telah disediakan panitia.
Sekitar pukul 20.20 acara dimulai—terlambat sekitar 50 menit dari jadwal semula. Keterlambatan ketika aku tanyakan ke panitia terjadi salah satunya karena Hari “Begy” Subagyo datang terlambat, padahal dia salah satu pengisi acara kunci dalam acara malam itu. Dia datang pukul 19.50, sehingga panitia yang terdiri dari anak-anak muda mahasiwa Fakultas Filsafat harus menunggu kedatangan “seniornya” terlebih dahulu.

Sebagaimana lazimnya acara yang difasilitasi pihak kampus, sambutan dari birokrat kampus/Dekan menempati posisi pertama, setelah pembukaan. Dekan Fakultas Filsafat “agar dikesankan revolusioner” dan pernah mencicipi dunia aktivis, mengawali pidatonya dengan Sumpah Mahasiswa. Tapi, karena dia membaca Sumpah Mahasiswa dengan sikap “jaga imej”, maka Sumpah Mahasiswa yang diucapkannya penuh kesalahan sana-sini. Setelah itu, dia mengudar pengalamannya ketika masih bersama Andi Munadjat. Mirip dengan upacara sambutan penguburan, yang selalu mengungkapkan hal yang baik-baik tentang almarhum/almarhumah, sang Dekan pun menyampaikan hal serupa.

Setelah Dekan lengser dari panggung, Awang Krisna Mukti mendapat giliran selanjutnya. Dia maju dengan menenteng sebuah map. Sebelum naik pentas, dia sempat memamerkan padaku kalau tulisan di bagian luar map itu adalah tulisan tangan Andi Munadjat. Awang—begitu dia disapa—memaparkan riwayat singkat kehidupan Andi Munadjat. Namun mungkin karena terharu, pada saat dia menuturkan kisah Andi Munadjat yang sering “berjudi” catur untuk menambah uang makan, tiba-tiba Awang menangis. Tangis itu semakin memuncak ketika dia memaparkan kalau setiap bulan Andi Munadjat hanya mendapat kiriman Rp. 25.00,-. Karena berbicara sambil menangis, beberapa bagian kata-katanya tak terdengar jelas. Awang kelihatannya lupa membawa sapu tangan, sehingga dia biarkan air mata menggarisi pipinya.

Kenangan yang disampaikan Awang tentang sosok Andi Munadjat adalah kenangan yang “indah-indah” dan bisa menarik simpati pendengar yang mulai memadati halaman tengah Fakultas Filsafat UGM. Walau pun begitu, tetap saja ada beberapa orang yang tampak sibuk mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya, seperti Nico Warow yang entah mengobrol apa dengan teman di sampingnya.

Puas mengungkapkan kenangannya pada sosok Andi Munadjat, Awang pun lengser dari panggung. Selanjutnya, yang didaulat naik ke atas pentas adalah Kiswondo dan Hamcrut. Kiswondo membacakan cerpen Andi Munadjat yang berjudul “Tak ada Pilihan Lain”. Cerpen tersebut dibukukan dalam sebuah antologi berjudul “Bersama Juga Sama”, yang diberi kata pengantar oleh Hilmar Farid. Sebelum Kiswondo naik pentas, sempat kubolak-balik antologi cerpen “Tak Ada Pilihan Lain”. Di dalamnya terdapat nama-nama beken yang ikut memberikan kontribusi, seperti Linda Christanty dan Sihar Ramses Simatupang. Cerpen Andi Munadjat tersebut berkisah tentang pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu. Seperti biasanya, Kiswondo membacakan cerpen dengan suara baritonnya yang khas dan penuh tekanan, sehingga suasana pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu dalam cerpen Munadjat seolah-olah pindah ke halaman Fakultas Filsafat. Sementara itu, Hamcrut dengan khusyuk mengiringi pembacaan cerpen Kiswondo dengan petikan gitar. Namun entah gitar atau sound system-nya yang jelek, petikan gitar Hamcrut tak terdengar jelas di telingaku.

Setelah selesai “bertugas”, Kiswondo dan Hamcrut langsung lengser. Acara berikutnya—inilah sebetulnya acara yang kutunggu-tunggu—testimoni dari kawan-kawan Andi Munadjat. Kebetulan sekali, Hari “Begy” Subagyo yang bertindak sebagai pemandu. Kak Begy—begitu dia sering disapa oleh teman-temannya di Jogja—mulai memanggil beberapa nama untuk maju. Yuli Eko Nugroho—layaknya pejabat LSM lokal yang merasa sok terkenal, menganggap tak masalah datang terlambat ke sebuah acara (termasuk acara mengenang sosok almurham Munadjat, yang katanya “kawan dekatnya” itu) datang dengan mengendarai Suzuki APV berwarna silver—adalah yang maju perrtama. Berikutnya, Damai Pakpahan, Herlambang dan Agung yang dipanggil bersamaan. Anehnya, dari keempat orang yang namanya disebut Kak Begy, semuanya adalah “tokoh-tokoh tua”, tanpa satupun “tokoh muda”. Padahal kulihat ada banyak para pelanjut Andi Munadjat yang berkiprah di Pijar hadir pada malam itu, namun nama mereka tak satu pun dipanggil. Aku sempat mengajukan tanya dalam hati, “Apakah Andi Munadjat ini peletak pondasi bagi ‘tokoh-tokoh tua’ saja?”
Dari sini, aku mulai melihat pengkerdilan sosok Andi Munadjat. Andi Munadjat seakan ingin “dipeluk rapat-rapat” oleh “kami”, para tokoh tua. Mereka ingin menjadikan Andi Munadjat sebagai milik generasi “kami”, generasi para sesepuh. Sementara itu, mereka yang bukan “angkatan kami” lebih baik jadilah pendengar yang baik; yang duduk manis sambil mendengarkan dengan baik dan tenang ketika “kami” memuja-muji “berhala” dan tokoh “idola” kami. Dia yang telah menyelamatkan muka “kami” sebab hanya dia aktivis yang lurus, jujur dan berbeda dari kami; angkatan tua yang penuh belang-bonteng. Begitulah, jika sejarah telah dirumuskan menjadi “sejarah angkatan”, maka hanya mereka yang “seangkatan” yang dipersilakan bicara.
Terhadap testi yang diberikan Kak Begy dan lainnya, sebagai tanggapan, aku kutipkan saja penggalan puisi Taslim Ali yang berjudul “Sanjak Liar”:

“aku telah muak
bau bangkai kata-kata
memoles bingkai-bingkai tua
dari cermin omong kosong”

Karena muak itulah aku meninggalkan acara. Dalam perjalanan pulang, Hamcrut meng-sms-ku: Kau di mana, Ndog? Aku jawab: Pulang. Telingaku gatal mendengar tembang kenangan tentang Andi Munadjat.
Ya, acara malam itu seharusnya bertajuk: Persembahan Dari Teman-teman Seangkatan, dengan judul kecil: Tembang Kenangan untuk Andi Munadjat! Walau pun begitu, kupikir Andi Munadjat termasuk orang yang beruntung, Mengapa? Sebab masih ada Hamcrut yang mau bersusah-payah menggagas dan mengadakan acara khusus untuk mengenang sosoknya. Yang tidak beruntung mungkin saja orang-orang semacam Taufik “Lombok” dan Sadam Husain, yang kepergiannya berlalu begitu saja tanpa ada tembang kenangan ataupun buku untuk mengenang mereka—sebab mereka bukanlah “angkatan kami”.

Pemula yang Samar-Samar
Andi Munadjat lahir pada tanggal 1 Nopember 1966. Dia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 1986 dengan NIM (Nomor Induk Mahasiswa) 1785/FI. Bagi mahasiswa Filsafat UGM yang masuk mulai tahun 1993, sosok Munadjat tidak terlalu dikenal. Tulisan Eka Kurniawan menggambarkan hal itu:
“Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung tidur di pojok.”

Pada acara tanggal 2 April 2009 di Fakultas Filsafat UGM, Awang bertanya padaku, “Angkatan berapa, Mas?”
“1996,” jawabku.
Dengan yakin Awang berkata, “Pasti tak kenal Andi Munadjat.”
Mendengar keyakinan Awang itu, aku tertawa geli dalam hati. Secara fisik, aku memang tak pernah bersitatap muka dengan Munadjat. Tapi sejak bergabung dalam dunia gerakan, aku selalu berusaha mencari tahu siapa sebenarnya Andi Munadjat. Faisol Reza, Nining, Nur Hiqmah, Hamcrut, Aris Botol, Pius Sapi, Kiswondo adalah orang-orang yang pernah kutanyai tentang sosok Munadjat yang misterius. Pun, pada Anom, ketika aku bertemu dengannya di Jakarta. Sebagai jawaban, Anom berkata bahwa Andi Munadjat adalah seorang organisator andal yang mendapat julukan “5 hari 5 kota”. Dari beberapa penjelasan itu, walaupun masih samar-samar, aku telah berhasil merekontruksikan sosok Pak Item—demikian Andi Munadjat dipanggil oleh kawan-kawannya—dalam benakku.

Hal lain yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang aktivis yang satu ini adalah pesan moral yang ingin disampaikannya. Dia berpesan: sebagai aktivis, seseorang haruslah sederhana, lurus dan egaliter (menjauhi feodalisme). Ketika pesan moral itu kukonfirmasi ke Hamcrut, dia membenarkan. “Memang itulah sikap moral yang ingin dibangun oleh gerakan di Filsafat,” begitu katanya. Dan ketika kucek sekali lagi pada Aris Botol, dia juga mengiyakan.

Problem feodalisme ini (atau Bapakisme, menurut istilahku) memang selalu menjadi belukar dalam gerakan. Dan tentang hal tersebut, Andi Munadjat telah berpikir jauh ke depan; bahwa apabila feodalisme telah mengakar, maka sebuah gerakan tak akan pernah bisa membesar. Namun saying, pesan yang digariskan oleh Andi Munadjat justru hanya menjadi pajangan indah di tembok gerakan kiri, karena setelah dia “menghilang”, justru feodalisme yang mewarnai gerakan kiri, yaitu menguatnya “bapakisme”.

Disingkirkan dan Dikucilkan
Bagi aktivis yang bergerak antara kurun pertengahan 80-an sampai 90-an, sosok Andi Munadjat tentu taka sing lagi. Sejak mula kuliah, Andi Munadjat sudah menceburkan diri berjuang untuk melawan kediktoran Orba. Dia ke sana kemari membangun kantong-kantong perlawanan. Embrio gerakan berlawan pun semakin membesar. Mengkristal dalam ujud SMID. Namun, sosok yang begitu dikenal ini tiba-tiba raib. Ketika kongres SMID di Jakarta sekitar pertengahan 1994, Andi Munadjat tak terlihat. Sejak saat itu, angkatan kemudian tak pernah lagi tahu siapa sebenarnya dirinya. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Kenapa dia tak datang ke konggres SMID? Apa yang terjadi dengannya?

Sebelum dia benar-benar menghilang pasca kongres SMID tahun 1994, Andi Munadjat sempat berbicang dengan Hamcrut di selasar ruang dosen kampus Fakultas Filsafat UGM, tak jauh dari toilet. Pada Hamcrut, dia bertutur kurang-lebih begini:

“Biar saja statusku, Zah. Toh, aku bisa berjuang di medan yang lain.”

Lewat kalimat “Biar saja statusku, Zah”, yang diucapkan Andi Munadjat kepada Hamcrut di atas, terkesan bahwa sejak saat itu (sebelum kongres SMID 1994) “statusnya” dalam gerakan sudah bermasalah. Inilah yang membuat beberapa orang, termasuk Hamcrut, yakin kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan sebelum konggres SMID 1994. Keyakinan Hamcrut diperkuat oleh penuturan Anom yang menyatakan bahwa dalam persiapan pra kongres SMID (termasuk dalam setting penentuan pengurus SMID), Andi Munadjat sudah tak tampak.
Penyingkiran Andi Munadjat sebelum kongres SMID 1994 menjadi jawaban mengapa dia tak hadir dalam pertemuan tersebut. Dan, setelah Andi Munadjat disingkirkan, muncul sosok Munif Laredo dan Nando Manulang sebagai ketua dan sekjen SMID.

Kepergian Andi Munadjat memang begitu tiba-tiba. Ibarat purnama yang ditelan selapis mendung pekat musim hujan. Dia seolah pergi begitu saja, meninggalkan kerja keras yang telah dimulainya, seolah lupa bahwa ia telah memulai sesuatu. Dia seolah ditelan bumi. Terakhir kali wawancaranya dimuat di Majalah Linus edisi Oktober 1994. Setelah itu tak terdengar kabar beritanya.

Tentu pertanyaan yang harus dijawab: Mengapa dia disingkirkan?
Dalam sebuah acara peringatan kepergian Andi Munadjat di Jakarta, Weby Warow, sambil menangis sesengukan berkata, “Kalau saja Andi Munadjat tak dipecat, maka PRD pasti masih utuh.” Maka, ketika acara yang sama dilakukan di Jogja, aku menunggu penjelasan tambahan tentang mengapa Andi Munadjat dipecat, dan kapan. Sayang, Kak Begy—sebagai sahabat karib Weby Warow—tak menyebutkan soal itu dalam acara di Jogja. Padahal, hal itulah yang sebenarnya sangat kutunggu sehingga aku rela meninggalkan lereng Merapi. Anehnya lagi, Kak Begy justru menceritakan persoalan remeh temeh yang tak perlu, semisal, kenangannya saat bersama Andi Munadjat melakukan wawancara dengan pengamat politik “bule” di Hotel Ambarukmo. Persoalan pokok tentang mengapa Andi Munadjat dipecat dan menghilang tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Kak Begy. Aku tak tahu pasti apa yang terjadi dengan Kak Beggy malam itu. Dia kelihatan sedikit resah dan gugup. Seolah ada kata-kata yang tertahan di ujung tenggorokannya.

Ah, Kak Begy. Mengapa kau tak mau jujur tentang zamanmu sendiri? Padahal agar kau tahu, malam itu aku menaruh harapan yang besar padamu, jika saja kau memilih menjadi seorang Mas Marco yang berani mengatakan dengan jernih siapa sebenarnya Pemula itu— yang kemudian disingkirkan dari pentas sejarah. Atau apakah kau termasuk tipe manusia Jawa yang penuh ewuh pa kewuh?

Kak Begy memang tidak mempunyai kualitas seperti Mas Marco. Rupanya malam itu aku terlalu berharap terlalu besar padanya. Sebagi aktivis LSM berbakat dan staf ahli Menkes mungkin dia merasa tak perlu membuka sejarah masa silam, karena bisa jadi ketika sejarah itu terkuak justru akan membuka aibnya sendiri. Oleh karena itu, sampai kini ia tetep kekeh tak mau membuka tabir penyingkiran itu. Dia lebih memilih menjadi Rinkes yang suka menggelapkan sejarah daripada menjadi Mas Marco yang bicara apa adanya.

Malam itu, Awang pun, yang mengaku “kawan dekat” Andi Munadjat, bersikap setali tiga uang dengan Kak Begy. Ia tidak menyingung soal pemecatan Munadjat, sebaliknya justru bercerita tentang sebuah “tugas” yang diberikan padanya untuk menjemput Andi Munadjat di Kalimantan. Sebuah tugas yang gagal dilaksanakannya karena Andi Munadjat tak mau meninggalkan tanah Boreo itu. Cerita Awang ini sama persis dengan penuturan Jayadi ketika terlibat obrolan denganku. Awang juga tak menjelaskan lebih terperinci kenapa setelah “ tugas” itu dia justru malah tersingkir dari pentas gerakan kiri. Entahlah, apakah Awang memang benar-benar buta masalah itu atau malah pura-pura tidak tahu. Mungkin hanya seekor anjing yang sedang bermalas-malasan di sudut utara Fakultas Filsafat UGM malam itu yang bisa menjawabnya.

Sebelum acara berlangsung, sempat kusorongkan sebuah tanya pada Hamcrut, “Crut, setelah Andi Munadjat menghilang, apakah ada kesan dia memang disingkirkan dan dikucilkan?” Pertanyaan ini sengaja kuajukan karena sebelum acara Hamcrut pernah mengatakan lewat sms kalau Andi Munadjat bukan dilupakan, melainkan DI-SING-KIR-KAN! Dari kata-katanya, Hamcrut begitu yakin kalau Andi Munadjat memang disingkirkan.
“Terlepas dari kendala komunikasi pada waktu itu yang memang belum secanggih sekarang, “jawab Hamcrut, “memang ada kesan dia disingkirkan dan dikucilkan.”

Sejak itu, berdasarkan penuturan Hamcrut, keberadaan Andi Munadjat tidak lagi diketahui secara pasti. Beritanya simpang siur. Ada yang mengatakan ia sedang berada di tempat A, sementara yang lain mengatakan ia berada di tempat B, C dan entah di mana lagi. Sosok yang selalu tampil bersahaja dan low profile itu telah berubah menjadi misteri.

Zul Amrozi/ Ojik (Ketua SMID Jogja), dalam tulisannya yang berjudul Andi Manujat Yang Ku Kenal, juga menyatakan bahwa ia tak mengetahui keberadaan Andi Munajat:

“Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi sempat kembali ke Jetis [.] Ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan karena sedang melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa.”

Keberadaannya barulah terdengar kembali ketika dia melakukan aksi pemogokan buruh kayu di Kalimantan. Lagi-lagi, berdasarkan penuturan Hamcrut, pemogokan itu terjadi atas inisiatifnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan organisasi. Pernyataan Hamcrut tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Anom.

Anom bercerita, ketika itu tahun 1995. Ia tengah berada di Jogja, tepatnya kantor SMID Jogja. Saat itu, ia sempat menerima telepon dari Andi Munadjat, yang meminta dukungan terhadap aksi buruh yang sedang digalangnya di Kalimantan. Masih lewat telepon, Munadjat berkata bahwa ia sudah mengirim fax ke Jakarta, tapi tak ada tanggapan apapun. Cerita Anom tersebut mengesankan satu hal; tak ada lagi komunikasi dan koordinasi antara Andi Munadjat dan organisasi yang dulu dirintisnya. Tidak adanya respon tersebut menunjukkan Andi Munadjat tak dianggap lagi. Dia sudah dilupakan dari pentas gerakan kiri.

Begitulah Pemula itu disingkirkan dan dikucilkan. Namun sampai sekarang belum terjawab mengapa Andi Munadjat disingkirkan. Apakah agar tak ada “dua matahari” dalam tubuh gerakan kiri waktu itu? Apakah agar “klik Jakarta” bisa leluasa menentukan arah gerakan kiri? Atau oleh sebab-sebab yang lain?

Dongeng Berkalung Dusta
Dongeng “versi resmi” tentang proses menghilangnya Andi Munadjat adalah sebagai berikut:
Andi Munadjat ditangkap di Banjarmasin tahun 1995. Ketika ditangkap dia membawa dokumen-dokumen penting. Sebagai kompesasi atas penangkapan tersebut, Andi Munadjat diminta menyusup ke gerakan kiri. Dia kemudian pergi ke Jakarta untuk melapor pada organisasi, kemudian dia diputuskan keluar dari organisasinya. Setelah itu, dia konon membuat restoran di Pangandaran.

Benarkah dongeng tersebut adalah sebuah kebenaran?Namun bagaimana jika dongeng itu justru berkalung dusta dengan tujuan sebagai usaha cuci tangan?

Selama bertahun-tahun dongeng itu dianggap sebagai kebenaran. Agar semakin kuat maka ketika di Jakarta diadakan acara untuk mengenang Andi Munadjat, dongeng itu dimunculkan lagi. Karena dongeng sudah dianggap sebagai kebenaran, maka daya kritispun menjadi tumpul. Tak mengherankan seorang Wibowo Arif (Jemek) menerima dongeng itu begitu saja. Pada Jemek kemudian kukirimkan sms: Kau ini orang Filsafat kenapa bisa dibodoh orang UI. Dia tak memberikan jawaban. Mungkin malu.

Di Jogja, oleh sebagian kawan, dongeng itu sekarang dianggap sebagai dagelan. Tak ubahnya dagelan para caleg dan partai. Sementara seorang kawan dari Jakarta berkomentar lebih sadis: Hah, itu hanya untuk cuci tangan!
Ada benarnya kalau dongeng itu diramu sebagai upaya untuk cuci tangan. Dongeng itu mengandaikan tidak ada yang tahu kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan sejak 1994. Padahal serapi-rapinya kebusukan ditutup-tutupi, waktu akan membukanya.

Dongeng itu memang penuh kejanggalan. Pertama, dongeng itu berandai-andai setelah Andi Munadjat menghilang masih ada koordinasi antara dirinya dan organisasi. Hamcrut menekankan lewat sms: Andi bergerak di Kalimantan bukan atas tugas organisasi, tapi kemauan dia setelah ‘menghilang’. Kedua, dongeng itu tampak konyol. Mengapa orang yang jujur justru dikeluarkan dari organisasi? Ketiga, yang terpenting, dongeng itu tak menjawab pertanyaan mengapa Andi Munadjat tak datang ke kongres SMID. Andi Munadjat yang “menghilang” pra kongres SMID pada tahun 1994, sedangkan pengakapan itu terjadi pada tahun 1995. Dari semua kekoyolan dan ketidak masuk akalan itu, dongeng tersebut jelas mengada-mengada; persis dongeng untuk meninak bobokkan agar orang tak kritis pada sebuah epik sejarah.
Apa gunanya dongeng itu perlu diciptakan?

Tujuannya utama jelas untuk menutupi jejak “Si Penipu”. Sebagai orang yang sejak mula berada di dunia aktivis, Andi Munadjat tentu banyak mengetahui. Oleh karena itu, gerak Andi Munadjat harus dibatasi agar tak banyak ngomong setelah dia disingkirkan. Maka, perlu dibuat dongeng yang mengesankan seolah-olah Andi Munadjat hendak dijadikan “agen” oleh rezim. Dikesankan pula setelah itu demoralisasi dengan membuka restoran di Pangandaran. Tapi Banjarmasin Post menelanjangi dongeng itu dengan mencacat kalau Andi Munadjat sebelum ajal menjemput masih berlawan.

Tujuan lain dari dongeng tersebut adalah untuk “bersih-bersih” diri. Agar orang-orang yang menyingkirkan Andi Munadjat tersebut merasa “tidak terlalu berdosa” atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Oleh karena itu, dibuatlah alasan pembenar kenapa Andi Munadjat disingkirkan. Alasan itu berupa Andi Munadjat akan dijadikan “agen” oleh kekuasaan waktu itu. Sehingga sah kalau Andi Munadjat kemudian disingkirkan. Sekarang, di Jogja timbul pertanyaan: kalaupun dongeng itu benar, siapa sebanarnya yang menjadi “agen”, yang “dilapori” atau “yang melapor”?

Begitulah dongeng berkalung dusta itu sampai sekarang terus-menerus direproduksi agar muncul sebagai kebenaran dan mengaburkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Hendak Dijadikan Berhala
Tanggal 13 Desember 1918, Mas Marco menulis di Koran Djawa Iswara halaman 1, kolom 1-2, tentang kematian Tirto Adhi Soerjo. Tanggal 27 Maret 2009, Koran Banjarmasin Post menuliskan berita kematian Andi Munadjat. Kematian kedua Pemula ini sama-sama diketahui baik oleh kawan maupun lawannya melalui surat kabar. Apakah takdir sejarah seorang Pemula memang sudah seperti itu? Entahlah. Belum kutemukan jawabannya.

Tirto Adhi Soerjo meninggal dalam kondisi patah arang; terasing dari kawan-kawan seperjuanganya dan terkucil di pojok sepi. Namun ia masih beruntung. Ada Mas Marco dan Pramoedya yang mengangkat kembali sejarahnya. Serupa tapi tak sama, Andi Munadjat pun mengalaminya. Ia yang begitu populer awal tahun 90-an tiba-tiba raib. Kehadirannya kembali barulah diketahui melalui sebuah berita yang ditulis Banjarmasin Post tentang kematiannya. Mengapa ironi ini kembali terulang?

Setelah Andi Munadjat menghilang, memang tak ada lagi yang mengubris keberadaannya. Kalau pun dia melakukan aktivitas politik, semua itu atas inisiatifnya sendiri. Keberadaannya dianggap tiada. Sejarahnya pun tak pernah disebut dengan jelas, bahkan ketika membicarakan sejarah gerakan perlawanan terhadap Soeharto. Ketika diklat Pijar pasca 1996, misalnya, nama Andi Munadjat hanya disebut sebagai pendiri dan PU(Pimpinan Umum) Pijar. Wajarlah jika generasi Pijar angkatan 1996 hingga angkatan paling anyar tak mengenal sosoknya, apalagi di luar itu (misalnya di LMND, FNPBI, SMRK dan lainnya). Sosok Andi Munadjat benar-benar ditenggelamkan.

Pernah suatu ketika, pada tahun 1998, Andi Munadjat datang kembali ke Filsafat. Dia menuturkan pada Kiswondo, yang menemuinya saat itu, kalau dirinya masih dikejar-kejar. Dia juga bercerita tentang pengusiran dirinya dari Kalimantan oleh aparat keamanan di sana (beberapa tentara bersenjata mengantar pengusirannya hingga naik kapal yang akan membawanya ke Jawa). Berdasarkan penuturan Kiswondo menunjukkan Andi Munadjat pada periode 1995-1998 masih melakukan kerja-kerja perlawanan. Itulah cerita terakhir tentang Andi Munadjat yang sempat terdengar, sebelum kemudian sosoknya muncul kembali lewat goresan tinta dalam halaman koran Banjarmasin Post yang mengabarkan bahwa dia telah pergi untuk selama-lamanya.
Sekarang, setelah kematiannya, Andi Munadjat hendak dijadikan berhala oleh angkatannya yang sekarang sudah membusuk. Pada acara di Jogja malam itu, Yuli Eko Nugroho, dengan lantang memuji-memuji Andi Munadjat setinggi langit (sampai langit tingkat 8). Padahal ketika Andi Munadjat masih bergiat membangun gerakan kiri, dia salah satu yang membenci Andi Munadjat sampai tulang sumsum. Tingkah laku “omong kosong” seperti yang ditunjukkan Yuli Eko Nugroho memang sungguh memuakkan. Pujian tak akan menggelembungkan makna Andi Munadjat. Pun, caci maki tak akan mengerdilkan peranannya. Lantas untuk omong kosong itu terus-menerus dimamah biak?

Setelah kematiannya, konon kabarnya sejarah Andi Munadjat akan dituliskan. Semua yang berkaitan dengan Andi Munadjat dikumpulkan. Segala sesuatu tentang Andi Munadjat yang dulu dianggap tidak penting, sekarang menjadi berharga (kalau perlu celana dalam Andi Munadjat yang dulu dipakai dalam aksi-aksi penting dicari, setelah itu dipamerkan keliling kota dengan tajuk: Pameran celana dalam aktivis yang lurus dan jujur. Fotonya sekarang bertebaran di Kitab Tampang (Face Book). Diserukan pada siapa saja yang mengetahui informasi tentang Andi Munadjat untuk angkat bicara.

Begitulah pondasi berhala bernama Andi Munadjat mulai dibangun. Berhala itu memang perlu dibangun. Tujuanya agar angkatan Andi Munadjat yang sekarang telah busuk bisa tertolong. Paling tidak mereka bisa berkata: Kami memang telah busuk. Ada di antara kami yang dekat dengan Bais. Ada di antara kami yang dekat dengan jendral penculik. Ada di antara kami jadi gigolo politik. Tapi tunggu dulu. Lihatlah kawan kami, Andi Munadjat. Dia aktivis yang lurus dan jujur. Lihat saja. Sampai ruhnya meninggalkan raga dia masih setia dengan cita-citanya, membela yang tertindas. Oleh karena itu, namanya akan kami pigura dengan pigura bersepuh emas. Jejak langkahnya akan kami abadikan dengan buku yang penuh puja-puji dan karangan bunga anggrek putih.
Selama ini, selain para raja, Orde Baru-lah yang paling gemar membuat berhala. Berhala-berhala Orba bisa berwujud patung, monumen sampai buku. Tujuanya, agar sejarah kelam mereka bisa tertutupi dengan berhala itu. Sekarang, rupanya orang-orang yang seangkatan dengan Andi Munadjat juga memerlukan berhala. Tentu saja berhala itu akan mereka poles dengan indah dan penuh kemegahan agar semua orang bisa melihat “pancaran suci” sosok Santo Andi Munadjat, sementara kawan-kawan angkatanya yang telah busuk berdiri di belakangnya. Aih. Aih….

Entah mengapa. Sosok Andi Munadjat tiba-tiba berubah menjadi Soe Hok Gie. Dia dibutuhkan agar angkatannya yang kini penuh belang bonteng, terselamatkan.
Kita tunggu bagaimana ujud berhala itu akan dibentuk dan diramu.

Penutup
Sekedar pertanyaan penutup:
Apakah sejarah “versi Jakarta” yang akan ditulis Wilson dkk akan menempatan Andi Munadjat sebagaimana tempatnya? Atau, apakah sejarah yang disusun itu hanya sejarah basa-basi saja; sejarah tipu muslihat untuk menyelamatkan sebuah angkatan yang sekarang telah membusuk; sejarah amputasi, memotong sana-sani bagian yang akan mengungkap kebobrokan sebuah angkatan?


Lereng Merapi, 5 April 2009

@Ragil
(Juru Tulis Pinggiran/Penggemar Valentino Rosi dan Maradona)

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=83650773160&ref=mf)

1 comment: