Wednesday, 8 April 2009

:: Andi Munajat yang Ku Kenal

oleh : Yul Amrozi

Pertengahan tahun 92, di Jetis Cokrodiningratan Jogjakarta aku bertemu dengan Andi Munajat. Namanya jelas, Andi Munajat dengan wajah yang terlihat kuyu dia adalah laki-laki bermata tajam dengan kulit gelap dan aksen sunda kental dari mulutnya, saat itu dia adalah penghuni kamar ketiga dari depan bersebelahan dengan kamar Johnsony Tobing. Kami adalah penghuni rumah itu. Rumah itu besar dengan luas bangunan 8 x 15 m2, Cokrodiningratan JT II 217 (nomor bisa salah) dengan 6 kamar dan satu pavilyun.

Rumah itu tempat kami menimba ilmu dan meretas jalan hidup, kami adalah satu Group diskusi mahasiswa yang bernama Keluarga Mahasiswa. Saat aku pertama di sana aku tidak cukup tahu bahwa Keluarga Mahasiswa adalah salah satu group gerakan mahasiswa yang merintis perlawanan terhadap rejim Suharto sejak akhir 80-an hingga pertengahan 90-an. Yang kutahu adalah Andi Munajat adalah salah satu penghuni tetap Jetis Cokrodiningratan dan hampir dipastikan dia sering berada di sana.

Selain Andi Munajat, di rumah itu tinggal juga Johnsony Tobing, yang belakangan baru dikenal sebagai pencipta lagu pergerakan mahasiswa Darah Juang. Dengan rambut keriting gondrong ala Iwan Fals dia sering memainkan gitar listrik di kamarnya yang jarang dia buka pintunya. Hanya Andi Munajat yang kamarnya tidak pernah dia tutup, mungkin karena memang kamarnya hanya berisi kasur butut dan satu lemari plastik tempat pakaian Andi. Kamar Andi hanya akan dia tutup kalau pacar dia, Kiki, datang. Tentu saja kami penghuni rumah Jetis maklum dengan kedatangan orang spesial Andi dan sudah dipastikan kami para penghuni tidak akan mengganggu Andi jika saat-saat berharga itu datang.

Di belakang kamar Andi Munajat adalah bekas dapur yang oleh pemilik rumah diluaskan dengan tiga kamar tambahan dengan dua kamar mandi dan dua toilet. Perlu diingat bahwa kamar mandi maupun toilet hanya ditutup dengan lembaran karpet plastik yang dulu berwarna merah. Di depan kamar mandi terdapat satu kompor minyak tanah butut dengan sumbu yang nyaris selalu tandas gosong karena anak-anak biasa memasak di sana tanpa pernah rajin memeriksa minyaknya. Sering Si Sugeng Kecil, anak STM Jetis yang kos juga di sana ketiban sial harus memperbaiki sumbu kompor yang dengan semena-mena selalu dipaksa memasak air untuk dibikin kopi bagi para tukang diskusi seperti Andi Munajat, Sugeng Bahagijo, Satya Widodo, Ngarto Februana, Hari Subagyo, Budiman Sujatimiko, Weby Warrow, dan Dadang Yuliantoro (dia sudah sangat jarang kelihatan waktu aku kenal Andi di Jetis).

Aku beruntung bisa menempati satu kamar belakang bersama dengan Sugeng Kecil, di sana aku bisa menitipkan barang-barangku yang juga tidak seberapa. Di sebelah kamarku tinggal Fajar Pratikto, anak Sejarah UGM yang sama-sama berasal dari kampungku Brebes. Di sebelahnya lagi tinggal Eddy Haryadi, dengan alis dan kumis tebal, tubuh cukup besar dengan kulit terang mirip keturunan cina, dia jarang sekali memakai baju atas, dalam keseharian dia biasanya hanya memakai celana panjang di bawah lutut berwarna hijau tentara yang entah sudah berapa lama tidak pernah dia cuci.

Mereka semua adalah mahasisa UGM, yang kebanyakan berasal dari fakultas Filsafat dan Sastra. Aku, mahasiswa baru 92 yang datang dengan lugu sepertinya saat ini harus merasa beruntung karena bisa bertemu dengan mahluk-mahluk kumuh dan jorok tetapi otaknya terang benderang seperti matahari pagi. Untung saja aku juga mahluk yang jorok dan tahan kotor hahaha perpaduan yang pas dengan orang-orang jarang mandi tetapi mulutnya bau asap rokok . Andi Munajat adalah salah satunya.

Dia dengan sarung putih tenun yang lusuh dan hampir-hampir berwarna krem karena jarang dicuci, dengan bau mirip jok becak, dia biasa duduk di karpet ruang tengah berwarna hijau depan kamarnya menghadap ke sebuah meja kecil tanpa TV yang berserakan koran-koran lokal seperti Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Yang tidak pernah lupa di karpet itu adalah asbak yang selalu penuh dan gelas-gelas kopi bekas diminum yang selalu tidak pernah diurus sisa-sisa pembuangannya. Di sana berlaku hukum siapa yang ingin minum harap mencuci gelas yang masih ada, setelah minum biarkan saja toh nanti juga akan dicuci sama yang butuh.

Andi Munajat boleh dibilang adalah penghuni tetap Karpet Hijau, di karpet yang penuh dengan noda kopi ini dia biasa mengajak bicara penghuni Jetis ataupun tamu-tamu yang kerap kali hilir mudik ke tempat itu. Aku adalah sasaran empuk Andi Munajat, dia tahu betul bahwa aku adalah seorang yang datang ke Jogja dengan latar belakang Islam perkotaan yang kuat. Aku masih ingat bahwa aku membawa satu kotak Indomie yang penuh dengan majalah Al Muslimun (sekarang gak tahu masih ada atau tidak, mirip Sabili saat ini) saat aku pertama datang ke Jogja. Andi Munajat tahu betul bahwa dalam otakku telah terpatri dengan kuat ideologi Islam pantai utara Jawa yang identik dengan kalangan Muhammadiyah. Andi Munajat dengan mata sayu kemerah-merahan akan selalu mengganggu aku dengan berbagai cara dia bertanya atau berbagai argumentasi dia yang akan selalu membuat aku pusing dan terpaksa berpikir dan membaca banyak.

Itulah Andi Munajat, mungkin kalau orang pernah membaca riwayat Socrates, Andi Munajat adalah Socrates dari Pangandaran, dia akan bertanya padaku apa yang disebut dengan keadilan, bagaimana dengan kepedulian, apakah kemiskinan itu takdir, bagaimana dengan ketidakadilan, apakah pendidikan saat ini sudah membawa pada kemajuan, apakah pendidikan bisa membebaskan, bagaimana sosok Muhammad dalam islam menghadapi penindasan, bagaimana dengan ide-ide perjuangan keadilan, apakah sejarah saat ini memang benar-benar menceritakan hal yang sesungguhnya, bagaimana dengan tragedi politik dalam sejarah, pendek kata Andi Munajat selalu tahu bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat bagi orang-orang dengan isi kepala yang berbeda-beda.

Dalam hatiku kubilang, sialan, anjing, si Andi ini selalu saja membuat aku tidak nyaman, membuat aku berpikir keras sampai aku mencret-mencret. Belakangan baru aku tahu bahwa setiap orang yang sudah melewati fase "Andi Munajat" selalu mendapatkan ritual mencret-mencret itu. Mereka yang mungkin satu angkatan mencret itu adalah Danuri Susetro, Suyanto, dan Nuraini.

Oh ya saking lihainya Andi Munajat dalam mengajak diskusi yang luar biasa "menyakitkan" kalau dalam istilahku, dia bahkan punya seorang "pacar' tetap dalam diskusi yang selalu berkunjung ke Jetis Cokrodiningratan hanya untuk bertemu dengan Andi. Dia bernama Ipun, entah sekarang dia berada di mana, aktivis kalau tidak salah dari Janabadra atau Uncok aku tidak tahu pasti. Dia selalu berkunjung minimal seminggu sekali dan pasti menanyakan keberadaan Andi Munajat untuk bertanya dan bertanya tentang hal-hal yang membuat dia resah sampai si Andi perlu membuat permintaan khusus buat kawan-kawan di Jetis untuk membohongi Ipun bahwa Andi tidak ada di tempat karena Andi sudah tidak tahan lagi dengan keluhan dan pertanyaan-pertanyaan Ipun yang tatapan matanya melihat Andi seperti Dewa Filsafat.

Tapi harus diakui Andi Munajat adalah pemecah otak, siapa yang tidak terteror dengan pertanyaan Andi barangkali hanya orang yang benar-benar Bodoh atau mungkin sama sekali Ignorance. Kata-kata dalam mulutnya seperti tusukan jarum yang memecah otak, permintaan-permintaan sepelenya akan membuat kau jengkel, bau badannya membuat kau muak, tapi kegigihannya dalam diskusi dan kemudian dibuktikan dalam perjuangan gerakan radikal hingga saat ini barangkali tidak ada tandingannya.

Andi Munajat adalah peretas jalan dan penjahit pola gerakan yang mendirikan SMID atau SSDI, Andi Munajat dalam muhibah dari kota-kota di Jawa dia bisa menghubungkan gerakan mahasiswa Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya dan Jakarta menjadi cikal bakal berdirinya SMID. Dengan gigihnya dia mengalahkan macan-macan forum di kota-kota itu, dengan perkawanannya dia membangkitkan semangat kolektif di masing-masing kota, dengan kegigihan dan pengorbanannya dia mengilhami setiap kawan bahwa perjuangan yang ditempuh memang mengorbankan semuanya bahkan nyawa.

Militansi, kesabaran intelektual, keuletan, dan disiplin organisasi adalah yang paling terlihat dalam sosok Andi Munajat di era 90-an awal. Tanyakan pada aktivis mahasiswa Jogjakarta tahun 90-an mereka pasti tahu seorang Andi Munajat. Dari Andi Munajat juga aku menerima tips yang mungkin terlalu sederhana pada waktu itu, dari Andi Munajat aku mengenal dunia komputer, jujur saat itu Andi Munajat sudah cukup canggih dalam memahami dunia komputer sekalipun dia mungkin tidak punya skilnya. Andi Munajat bisa menunjukkan padaku tempat-tempat untuk bisa mencetak komputer dengan harga miring dan kualitas cukup bagus dengan teknologi komputer terbaru waktu itu. Dari Andi Munajat aku kemudian belajar sendiri tentang Software-software grafis karena aku ingin membuktikan kepada si Andi ini bahwa aku bisa menerima petunjuk dari dia.

Satu setengah tahun mungkin aku mengenal Andi Munajat, di akhir 93 Andi Munajat melakukan Muhibah yang kemudian mampu mendirikan SMID dan belakangan PRD. Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi sempat kembali ke Jetis ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan karena sedang melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa. Rumah Jetis kemudian berpindah ke Sendowo FI52, tapi entah kenapa dalam benakku rumah Jetis adalah rumah Andi Munajat rumah kami Keluarga Mahasiswa yang pernah bermimpi tentang Indonesia yang lebih berkeadilan.

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=76825147570&ref=mf)

No comments:

Post a Comment