Wednesday, 8 April 2009

:: Andi Munadjat versi Pinggiran oleh Ragil Nugroho

PEMULA YANG DISINGKIRKAN (Catatan Kaki Tentang Andi Munadjat)

Catatan:
Kalau Wilson di FB menuliskan sejarah Andi Munadjat versi Jakarta/keraton yang penuh puja-puji, aku akan menuturkan sejarah Andi Munadjat versi pinggiran.

***
aku menatapmu terbungkus lumut
lupa kau pernah ada
hanya jejak samarmu yang pernah kulihat
di antara reruntuhan puing masa silam

sejarahmu tragis,
kau dikuburkan oleh zamanmu sendiri
dan,
sang penguburmu kini berpesta menjadi badut-badut
memungkiri cita-citamu

kini,
kau telah pergi dengan sederhana
tanpa prasasti dan tabur bunga

sekarang,
setelah kepergianmu,
ada yang ingin menjadikanmu sebagai berhala
tapi,
aku hanya ingin mencatatmu
sebagai pemula yang dilupa!

(Mengantar Kepergianmu, Jogja, 30 Maret 2009)

Tembang Kenangan di Halaman Fakultas Filsafat UGM
Malam itu, tanggal 2 April 2009, halaman Fakultas Filsafat UGM dipayungi langit yang hamil hujan. Sebuah banner, kira-kira berukuran 2 X 6 meter, terpasang menghadap ke arah barat dan bertuliskan: Peletak Pondasi. S. Hamzah/Hamcrut (seorang perupa kiri yang sedang memperdalam seni rupa kerakyatan ala Basuki Reksobowo) sibuk ke sana kemari mengatur persiapan acara. Dia memang sebagai penggagas acara malam itu: Peringatan 7 Hari Meninggalnya Andi Munadjat.

“Ini persis dengan acara mogok makan dulu, Ndog. Aku mengerjakan sendiran,” ujar Hamcrut kepadaku. Setelah berkata begitu, kuperhatikan Hamcrut langsung merapal mantra agar hujan tak mengguyur halaman Fakultas Filsafat malam itu (aku sudah hapal bagaimana Hamcrut menyiapkan mantranya karena beberapa kali pernah diajak ketika dia sedang bertugas “menyediakan payung” untuk berbagai event). Orang sudah banyak tahu, selain sebagai perupa kiri, Hamcrut juga dikenal dengan pawang hujan kiri (artinya, dia mampu menjelaskan bagaimana cara mencegah turunnya hujan dengan analisa MDH).

Sekitar 11 tahun silam, Hamcrut bersama Manik Widjil Sadmoko (Admo) memang menggagas acara mogok makan di halaman Fakultas Filsafat UGM. Dari mogok makan inilah kemudian lahir KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), salah satu organisasi mahasiswa-rakyat yang memelopori aksi radikal di Jogjakarta untuk menggulingkan Soeharto. KPRP inilah yang melambungkan nama Haris “Aples” Moti yang dulu bukan siapa-siapa (seorang laki-laki berkulit hitam legam, selegam sejarahnya, yang selalu datang ke acara mogok makan dengan membawa koran yang digulung), namun sekarang telah menjadi selebriti politik di Jakarta. Bila sejarah bisa memakai kata “seandainya”, maka seandainya KPRP tidak melahirkan orang seperti Haris “Aples” Moti, bisa dibilang sejarah KPRP akan “bersih” dari “kotoran”.

Waktu terus menanjak menuju malam. Satu persatu undangan mulai datang. Ada yang datang sendiri, ada pula yang datang bersama keluarga. Terlihat nama-nama beken seperti Awang Krisna Mukti—aktivis tua yang malam itu kembali masuk kampus—Hari “Beggy” Subagyo—ideolog kaum tani yang sekarang berselingkuh dengan buruh/aktivis LSM berbakat/staf ahli Menkes Fadilah Supari —Kiswondo—sastrawan kiri yang kini menekuni penulisan sejarah—Etsar—Dekan Fakultas Filsafat/adik kelas Andi Munadjat—Damai Pakpahan, Nico Warow, Erna “Bono”, dan PRD versi PBR dari Solo seperti Kelik Ismunanto, Nandar, Sindu, Onong, serta undangan lain. Mereka duduk menyebar sambil menikmati wedang ronde dan nasi kucing yang telah disediakan panitia.
Sekitar pukul 20.20 acara dimulai—terlambat sekitar 50 menit dari jadwal semula. Keterlambatan ketika aku tanyakan ke panitia terjadi salah satunya karena Hari “Begy” Subagyo datang terlambat, padahal dia salah satu pengisi acara kunci dalam acara malam itu. Dia datang pukul 19.50, sehingga panitia yang terdiri dari anak-anak muda mahasiwa Fakultas Filsafat harus menunggu kedatangan “seniornya” terlebih dahulu.

Sebagaimana lazimnya acara yang difasilitasi pihak kampus, sambutan dari birokrat kampus/Dekan menempati posisi pertama, setelah pembukaan. Dekan Fakultas Filsafat “agar dikesankan revolusioner” dan pernah mencicipi dunia aktivis, mengawali pidatonya dengan Sumpah Mahasiswa. Tapi, karena dia membaca Sumpah Mahasiswa dengan sikap “jaga imej”, maka Sumpah Mahasiswa yang diucapkannya penuh kesalahan sana-sini. Setelah itu, dia mengudar pengalamannya ketika masih bersama Andi Munadjat. Mirip dengan upacara sambutan penguburan, yang selalu mengungkapkan hal yang baik-baik tentang almarhum/almarhumah, sang Dekan pun menyampaikan hal serupa.

Setelah Dekan lengser dari panggung, Awang Krisna Mukti mendapat giliran selanjutnya. Dia maju dengan menenteng sebuah map. Sebelum naik pentas, dia sempat memamerkan padaku kalau tulisan di bagian luar map itu adalah tulisan tangan Andi Munadjat. Awang—begitu dia disapa—memaparkan riwayat singkat kehidupan Andi Munadjat. Namun mungkin karena terharu, pada saat dia menuturkan kisah Andi Munadjat yang sering “berjudi” catur untuk menambah uang makan, tiba-tiba Awang menangis. Tangis itu semakin memuncak ketika dia memaparkan kalau setiap bulan Andi Munadjat hanya mendapat kiriman Rp. 25.00,-. Karena berbicara sambil menangis, beberapa bagian kata-katanya tak terdengar jelas. Awang kelihatannya lupa membawa sapu tangan, sehingga dia biarkan air mata menggarisi pipinya.

Kenangan yang disampaikan Awang tentang sosok Andi Munadjat adalah kenangan yang “indah-indah” dan bisa menarik simpati pendengar yang mulai memadati halaman tengah Fakultas Filsafat UGM. Walau pun begitu, tetap saja ada beberapa orang yang tampak sibuk mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya, seperti Nico Warow yang entah mengobrol apa dengan teman di sampingnya.

Puas mengungkapkan kenangannya pada sosok Andi Munadjat, Awang pun lengser dari panggung. Selanjutnya, yang didaulat naik ke atas pentas adalah Kiswondo dan Hamcrut. Kiswondo membacakan cerpen Andi Munadjat yang berjudul “Tak ada Pilihan Lain”. Cerpen tersebut dibukukan dalam sebuah antologi berjudul “Bersama Juga Sama”, yang diberi kata pengantar oleh Hilmar Farid. Sebelum Kiswondo naik pentas, sempat kubolak-balik antologi cerpen “Tak Ada Pilihan Lain”. Di dalamnya terdapat nama-nama beken yang ikut memberikan kontribusi, seperti Linda Christanty dan Sihar Ramses Simatupang. Cerpen Andi Munadjat tersebut berkisah tentang pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu. Seperti biasanya, Kiswondo membacakan cerpen dengan suara baritonnya yang khas dan penuh tekanan, sehingga suasana pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu dalam cerpen Munadjat seolah-olah pindah ke halaman Fakultas Filsafat. Sementara itu, Hamcrut dengan khusyuk mengiringi pembacaan cerpen Kiswondo dengan petikan gitar. Namun entah gitar atau sound system-nya yang jelek, petikan gitar Hamcrut tak terdengar jelas di telingaku.

Setelah selesai “bertugas”, Kiswondo dan Hamcrut langsung lengser. Acara berikutnya—inilah sebetulnya acara yang kutunggu-tunggu—testimoni dari kawan-kawan Andi Munadjat. Kebetulan sekali, Hari “Begy” Subagyo yang bertindak sebagai pemandu. Kak Begy—begitu dia sering disapa oleh teman-temannya di Jogja—mulai memanggil beberapa nama untuk maju. Yuli Eko Nugroho—layaknya pejabat LSM lokal yang merasa sok terkenal, menganggap tak masalah datang terlambat ke sebuah acara (termasuk acara mengenang sosok almurham Munadjat, yang katanya “kawan dekatnya” itu) datang dengan mengendarai Suzuki APV berwarna silver—adalah yang maju perrtama. Berikutnya, Damai Pakpahan, Herlambang dan Agung yang dipanggil bersamaan. Anehnya, dari keempat orang yang namanya disebut Kak Begy, semuanya adalah “tokoh-tokoh tua”, tanpa satupun “tokoh muda”. Padahal kulihat ada banyak para pelanjut Andi Munadjat yang berkiprah di Pijar hadir pada malam itu, namun nama mereka tak satu pun dipanggil. Aku sempat mengajukan tanya dalam hati, “Apakah Andi Munadjat ini peletak pondasi bagi ‘tokoh-tokoh tua’ saja?”
Dari sini, aku mulai melihat pengkerdilan sosok Andi Munadjat. Andi Munadjat seakan ingin “dipeluk rapat-rapat” oleh “kami”, para tokoh tua. Mereka ingin menjadikan Andi Munadjat sebagai milik generasi “kami”, generasi para sesepuh. Sementara itu, mereka yang bukan “angkatan kami” lebih baik jadilah pendengar yang baik; yang duduk manis sambil mendengarkan dengan baik dan tenang ketika “kami” memuja-muji “berhala” dan tokoh “idola” kami. Dia yang telah menyelamatkan muka “kami” sebab hanya dia aktivis yang lurus, jujur dan berbeda dari kami; angkatan tua yang penuh belang-bonteng. Begitulah, jika sejarah telah dirumuskan menjadi “sejarah angkatan”, maka hanya mereka yang “seangkatan” yang dipersilakan bicara.
Terhadap testi yang diberikan Kak Begy dan lainnya, sebagai tanggapan, aku kutipkan saja penggalan puisi Taslim Ali yang berjudul “Sanjak Liar”:

“aku telah muak
bau bangkai kata-kata
memoles bingkai-bingkai tua
dari cermin omong kosong”

Karena muak itulah aku meninggalkan acara. Dalam perjalanan pulang, Hamcrut meng-sms-ku: Kau di mana, Ndog? Aku jawab: Pulang. Telingaku gatal mendengar tembang kenangan tentang Andi Munadjat.
Ya, acara malam itu seharusnya bertajuk: Persembahan Dari Teman-teman Seangkatan, dengan judul kecil: Tembang Kenangan untuk Andi Munadjat! Walau pun begitu, kupikir Andi Munadjat termasuk orang yang beruntung, Mengapa? Sebab masih ada Hamcrut yang mau bersusah-payah menggagas dan mengadakan acara khusus untuk mengenang sosoknya. Yang tidak beruntung mungkin saja orang-orang semacam Taufik “Lombok” dan Sadam Husain, yang kepergiannya berlalu begitu saja tanpa ada tembang kenangan ataupun buku untuk mengenang mereka—sebab mereka bukanlah “angkatan kami”.

Pemula yang Samar-Samar
Andi Munadjat lahir pada tanggal 1 Nopember 1966. Dia terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 1986 dengan NIM (Nomor Induk Mahasiswa) 1785/FI. Bagi mahasiswa Filsafat UGM yang masuk mulai tahun 1993, sosok Munadjat tidak terlalu dikenal. Tulisan Eka Kurniawan menggambarkan hal itu:
“Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung tidur di pojok.”

Pada acara tanggal 2 April 2009 di Fakultas Filsafat UGM, Awang bertanya padaku, “Angkatan berapa, Mas?”
“1996,” jawabku.
Dengan yakin Awang berkata, “Pasti tak kenal Andi Munadjat.”
Mendengar keyakinan Awang itu, aku tertawa geli dalam hati. Secara fisik, aku memang tak pernah bersitatap muka dengan Munadjat. Tapi sejak bergabung dalam dunia gerakan, aku selalu berusaha mencari tahu siapa sebenarnya Andi Munadjat. Faisol Reza, Nining, Nur Hiqmah, Hamcrut, Aris Botol, Pius Sapi, Kiswondo adalah orang-orang yang pernah kutanyai tentang sosok Munadjat yang misterius. Pun, pada Anom, ketika aku bertemu dengannya di Jakarta. Sebagai jawaban, Anom berkata bahwa Andi Munadjat adalah seorang organisator andal yang mendapat julukan “5 hari 5 kota”. Dari beberapa penjelasan itu, walaupun masih samar-samar, aku telah berhasil merekontruksikan sosok Pak Item—demikian Andi Munadjat dipanggil oleh kawan-kawannya—dalam benakku.

Hal lain yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang aktivis yang satu ini adalah pesan moral yang ingin disampaikannya. Dia berpesan: sebagai aktivis, seseorang haruslah sederhana, lurus dan egaliter (menjauhi feodalisme). Ketika pesan moral itu kukonfirmasi ke Hamcrut, dia membenarkan. “Memang itulah sikap moral yang ingin dibangun oleh gerakan di Filsafat,” begitu katanya. Dan ketika kucek sekali lagi pada Aris Botol, dia juga mengiyakan.

Problem feodalisme ini (atau Bapakisme, menurut istilahku) memang selalu menjadi belukar dalam gerakan. Dan tentang hal tersebut, Andi Munadjat telah berpikir jauh ke depan; bahwa apabila feodalisme telah mengakar, maka sebuah gerakan tak akan pernah bisa membesar. Namun saying, pesan yang digariskan oleh Andi Munadjat justru hanya menjadi pajangan indah di tembok gerakan kiri, karena setelah dia “menghilang”, justru feodalisme yang mewarnai gerakan kiri, yaitu menguatnya “bapakisme”.

Disingkirkan dan Dikucilkan
Bagi aktivis yang bergerak antara kurun pertengahan 80-an sampai 90-an, sosok Andi Munadjat tentu taka sing lagi. Sejak mula kuliah, Andi Munadjat sudah menceburkan diri berjuang untuk melawan kediktoran Orba. Dia ke sana kemari membangun kantong-kantong perlawanan. Embrio gerakan berlawan pun semakin membesar. Mengkristal dalam ujud SMID. Namun, sosok yang begitu dikenal ini tiba-tiba raib. Ketika kongres SMID di Jakarta sekitar pertengahan 1994, Andi Munadjat tak terlihat. Sejak saat itu, angkatan kemudian tak pernah lagi tahu siapa sebenarnya dirinya. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Kenapa dia tak datang ke konggres SMID? Apa yang terjadi dengannya?

Sebelum dia benar-benar menghilang pasca kongres SMID tahun 1994, Andi Munadjat sempat berbicang dengan Hamcrut di selasar ruang dosen kampus Fakultas Filsafat UGM, tak jauh dari toilet. Pada Hamcrut, dia bertutur kurang-lebih begini:

“Biar saja statusku, Zah. Toh, aku bisa berjuang di medan yang lain.”

Lewat kalimat “Biar saja statusku, Zah”, yang diucapkan Andi Munadjat kepada Hamcrut di atas, terkesan bahwa sejak saat itu (sebelum kongres SMID 1994) “statusnya” dalam gerakan sudah bermasalah. Inilah yang membuat beberapa orang, termasuk Hamcrut, yakin kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan sebelum konggres SMID 1994. Keyakinan Hamcrut diperkuat oleh penuturan Anom yang menyatakan bahwa dalam persiapan pra kongres SMID (termasuk dalam setting penentuan pengurus SMID), Andi Munadjat sudah tak tampak.
Penyingkiran Andi Munadjat sebelum kongres SMID 1994 menjadi jawaban mengapa dia tak hadir dalam pertemuan tersebut. Dan, setelah Andi Munadjat disingkirkan, muncul sosok Munif Laredo dan Nando Manulang sebagai ketua dan sekjen SMID.

Kepergian Andi Munadjat memang begitu tiba-tiba. Ibarat purnama yang ditelan selapis mendung pekat musim hujan. Dia seolah pergi begitu saja, meninggalkan kerja keras yang telah dimulainya, seolah lupa bahwa ia telah memulai sesuatu. Dia seolah ditelan bumi. Terakhir kali wawancaranya dimuat di Majalah Linus edisi Oktober 1994. Setelah itu tak terdengar kabar beritanya.

Tentu pertanyaan yang harus dijawab: Mengapa dia disingkirkan?
Dalam sebuah acara peringatan kepergian Andi Munadjat di Jakarta, Weby Warow, sambil menangis sesengukan berkata, “Kalau saja Andi Munadjat tak dipecat, maka PRD pasti masih utuh.” Maka, ketika acara yang sama dilakukan di Jogja, aku menunggu penjelasan tambahan tentang mengapa Andi Munadjat dipecat, dan kapan. Sayang, Kak Begy—sebagai sahabat karib Weby Warow—tak menyebutkan soal itu dalam acara di Jogja. Padahal, hal itulah yang sebenarnya sangat kutunggu sehingga aku rela meninggalkan lereng Merapi. Anehnya lagi, Kak Begy justru menceritakan persoalan remeh temeh yang tak perlu, semisal, kenangannya saat bersama Andi Munadjat melakukan wawancara dengan pengamat politik “bule” di Hotel Ambarukmo. Persoalan pokok tentang mengapa Andi Munadjat dipecat dan menghilang tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Kak Begy. Aku tak tahu pasti apa yang terjadi dengan Kak Beggy malam itu. Dia kelihatan sedikit resah dan gugup. Seolah ada kata-kata yang tertahan di ujung tenggorokannya.

Ah, Kak Begy. Mengapa kau tak mau jujur tentang zamanmu sendiri? Padahal agar kau tahu, malam itu aku menaruh harapan yang besar padamu, jika saja kau memilih menjadi seorang Mas Marco yang berani mengatakan dengan jernih siapa sebenarnya Pemula itu— yang kemudian disingkirkan dari pentas sejarah. Atau apakah kau termasuk tipe manusia Jawa yang penuh ewuh pa kewuh?

Kak Begy memang tidak mempunyai kualitas seperti Mas Marco. Rupanya malam itu aku terlalu berharap terlalu besar padanya. Sebagi aktivis LSM berbakat dan staf ahli Menkes mungkin dia merasa tak perlu membuka sejarah masa silam, karena bisa jadi ketika sejarah itu terkuak justru akan membuka aibnya sendiri. Oleh karena itu, sampai kini ia tetep kekeh tak mau membuka tabir penyingkiran itu. Dia lebih memilih menjadi Rinkes yang suka menggelapkan sejarah daripada menjadi Mas Marco yang bicara apa adanya.

Malam itu, Awang pun, yang mengaku “kawan dekat” Andi Munadjat, bersikap setali tiga uang dengan Kak Begy. Ia tidak menyingung soal pemecatan Munadjat, sebaliknya justru bercerita tentang sebuah “tugas” yang diberikan padanya untuk menjemput Andi Munadjat di Kalimantan. Sebuah tugas yang gagal dilaksanakannya karena Andi Munadjat tak mau meninggalkan tanah Boreo itu. Cerita Awang ini sama persis dengan penuturan Jayadi ketika terlibat obrolan denganku. Awang juga tak menjelaskan lebih terperinci kenapa setelah “ tugas” itu dia justru malah tersingkir dari pentas gerakan kiri. Entahlah, apakah Awang memang benar-benar buta masalah itu atau malah pura-pura tidak tahu. Mungkin hanya seekor anjing yang sedang bermalas-malasan di sudut utara Fakultas Filsafat UGM malam itu yang bisa menjawabnya.

Sebelum acara berlangsung, sempat kusorongkan sebuah tanya pada Hamcrut, “Crut, setelah Andi Munadjat menghilang, apakah ada kesan dia memang disingkirkan dan dikucilkan?” Pertanyaan ini sengaja kuajukan karena sebelum acara Hamcrut pernah mengatakan lewat sms kalau Andi Munadjat bukan dilupakan, melainkan DI-SING-KIR-KAN! Dari kata-katanya, Hamcrut begitu yakin kalau Andi Munadjat memang disingkirkan.
“Terlepas dari kendala komunikasi pada waktu itu yang memang belum secanggih sekarang, “jawab Hamcrut, “memang ada kesan dia disingkirkan dan dikucilkan.”

Sejak itu, berdasarkan penuturan Hamcrut, keberadaan Andi Munadjat tidak lagi diketahui secara pasti. Beritanya simpang siur. Ada yang mengatakan ia sedang berada di tempat A, sementara yang lain mengatakan ia berada di tempat B, C dan entah di mana lagi. Sosok yang selalu tampil bersahaja dan low profile itu telah berubah menjadi misteri.

Zul Amrozi/ Ojik (Ketua SMID Jogja), dalam tulisannya yang berjudul Andi Manujat Yang Ku Kenal, juga menyatakan bahwa ia tak mengetahui keberadaan Andi Munajat:

“Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi sempat kembali ke Jetis [.] Ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan karena sedang melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa.”

Keberadaannya barulah terdengar kembali ketika dia melakukan aksi pemogokan buruh kayu di Kalimantan. Lagi-lagi, berdasarkan penuturan Hamcrut, pemogokan itu terjadi atas inisiatifnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan organisasi. Pernyataan Hamcrut tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Anom.

Anom bercerita, ketika itu tahun 1995. Ia tengah berada di Jogja, tepatnya kantor SMID Jogja. Saat itu, ia sempat menerima telepon dari Andi Munadjat, yang meminta dukungan terhadap aksi buruh yang sedang digalangnya di Kalimantan. Masih lewat telepon, Munadjat berkata bahwa ia sudah mengirim fax ke Jakarta, tapi tak ada tanggapan apapun. Cerita Anom tersebut mengesankan satu hal; tak ada lagi komunikasi dan koordinasi antara Andi Munadjat dan organisasi yang dulu dirintisnya. Tidak adanya respon tersebut menunjukkan Andi Munadjat tak dianggap lagi. Dia sudah dilupakan dari pentas gerakan kiri.

Begitulah Pemula itu disingkirkan dan dikucilkan. Namun sampai sekarang belum terjawab mengapa Andi Munadjat disingkirkan. Apakah agar tak ada “dua matahari” dalam tubuh gerakan kiri waktu itu? Apakah agar “klik Jakarta” bisa leluasa menentukan arah gerakan kiri? Atau oleh sebab-sebab yang lain?

Dongeng Berkalung Dusta
Dongeng “versi resmi” tentang proses menghilangnya Andi Munadjat adalah sebagai berikut:
Andi Munadjat ditangkap di Banjarmasin tahun 1995. Ketika ditangkap dia membawa dokumen-dokumen penting. Sebagai kompesasi atas penangkapan tersebut, Andi Munadjat diminta menyusup ke gerakan kiri. Dia kemudian pergi ke Jakarta untuk melapor pada organisasi, kemudian dia diputuskan keluar dari organisasinya. Setelah itu, dia konon membuat restoran di Pangandaran.

Benarkah dongeng tersebut adalah sebuah kebenaran?Namun bagaimana jika dongeng itu justru berkalung dusta dengan tujuan sebagai usaha cuci tangan?

Selama bertahun-tahun dongeng itu dianggap sebagai kebenaran. Agar semakin kuat maka ketika di Jakarta diadakan acara untuk mengenang Andi Munadjat, dongeng itu dimunculkan lagi. Karena dongeng sudah dianggap sebagai kebenaran, maka daya kritispun menjadi tumpul. Tak mengherankan seorang Wibowo Arif (Jemek) menerima dongeng itu begitu saja. Pada Jemek kemudian kukirimkan sms: Kau ini orang Filsafat kenapa bisa dibodoh orang UI. Dia tak memberikan jawaban. Mungkin malu.

Di Jogja, oleh sebagian kawan, dongeng itu sekarang dianggap sebagai dagelan. Tak ubahnya dagelan para caleg dan partai. Sementara seorang kawan dari Jakarta berkomentar lebih sadis: Hah, itu hanya untuk cuci tangan!
Ada benarnya kalau dongeng itu diramu sebagai upaya untuk cuci tangan. Dongeng itu mengandaikan tidak ada yang tahu kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan sejak 1994. Padahal serapi-rapinya kebusukan ditutup-tutupi, waktu akan membukanya.

Dongeng itu memang penuh kejanggalan. Pertama, dongeng itu berandai-andai setelah Andi Munadjat menghilang masih ada koordinasi antara dirinya dan organisasi. Hamcrut menekankan lewat sms: Andi bergerak di Kalimantan bukan atas tugas organisasi, tapi kemauan dia setelah ‘menghilang’. Kedua, dongeng itu tampak konyol. Mengapa orang yang jujur justru dikeluarkan dari organisasi? Ketiga, yang terpenting, dongeng itu tak menjawab pertanyaan mengapa Andi Munadjat tak datang ke kongres SMID. Andi Munadjat yang “menghilang” pra kongres SMID pada tahun 1994, sedangkan pengakapan itu terjadi pada tahun 1995. Dari semua kekoyolan dan ketidak masuk akalan itu, dongeng tersebut jelas mengada-mengada; persis dongeng untuk meninak bobokkan agar orang tak kritis pada sebuah epik sejarah.
Apa gunanya dongeng itu perlu diciptakan?

Tujuannya utama jelas untuk menutupi jejak “Si Penipu”. Sebagai orang yang sejak mula berada di dunia aktivis, Andi Munadjat tentu banyak mengetahui. Oleh karena itu, gerak Andi Munadjat harus dibatasi agar tak banyak ngomong setelah dia disingkirkan. Maka, perlu dibuat dongeng yang mengesankan seolah-olah Andi Munadjat hendak dijadikan “agen” oleh rezim. Dikesankan pula setelah itu demoralisasi dengan membuka restoran di Pangandaran. Tapi Banjarmasin Post menelanjangi dongeng itu dengan mencacat kalau Andi Munadjat sebelum ajal menjemput masih berlawan.

Tujuan lain dari dongeng tersebut adalah untuk “bersih-bersih” diri. Agar orang-orang yang menyingkirkan Andi Munadjat tersebut merasa “tidak terlalu berdosa” atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Oleh karena itu, dibuatlah alasan pembenar kenapa Andi Munadjat disingkirkan. Alasan itu berupa Andi Munadjat akan dijadikan “agen” oleh kekuasaan waktu itu. Sehingga sah kalau Andi Munadjat kemudian disingkirkan. Sekarang, di Jogja timbul pertanyaan: kalaupun dongeng itu benar, siapa sebanarnya yang menjadi “agen”, yang “dilapori” atau “yang melapor”?

Begitulah dongeng berkalung dusta itu sampai sekarang terus-menerus direproduksi agar muncul sebagai kebenaran dan mengaburkan peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Hendak Dijadikan Berhala
Tanggal 13 Desember 1918, Mas Marco menulis di Koran Djawa Iswara halaman 1, kolom 1-2, tentang kematian Tirto Adhi Soerjo. Tanggal 27 Maret 2009, Koran Banjarmasin Post menuliskan berita kematian Andi Munadjat. Kematian kedua Pemula ini sama-sama diketahui baik oleh kawan maupun lawannya melalui surat kabar. Apakah takdir sejarah seorang Pemula memang sudah seperti itu? Entahlah. Belum kutemukan jawabannya.

Tirto Adhi Soerjo meninggal dalam kondisi patah arang; terasing dari kawan-kawan seperjuanganya dan terkucil di pojok sepi. Namun ia masih beruntung. Ada Mas Marco dan Pramoedya yang mengangkat kembali sejarahnya. Serupa tapi tak sama, Andi Munadjat pun mengalaminya. Ia yang begitu populer awal tahun 90-an tiba-tiba raib. Kehadirannya kembali barulah diketahui melalui sebuah berita yang ditulis Banjarmasin Post tentang kematiannya. Mengapa ironi ini kembali terulang?

Setelah Andi Munadjat menghilang, memang tak ada lagi yang mengubris keberadaannya. Kalau pun dia melakukan aktivitas politik, semua itu atas inisiatifnya sendiri. Keberadaannya dianggap tiada. Sejarahnya pun tak pernah disebut dengan jelas, bahkan ketika membicarakan sejarah gerakan perlawanan terhadap Soeharto. Ketika diklat Pijar pasca 1996, misalnya, nama Andi Munadjat hanya disebut sebagai pendiri dan PU(Pimpinan Umum) Pijar. Wajarlah jika generasi Pijar angkatan 1996 hingga angkatan paling anyar tak mengenal sosoknya, apalagi di luar itu (misalnya di LMND, FNPBI, SMRK dan lainnya). Sosok Andi Munadjat benar-benar ditenggelamkan.

Pernah suatu ketika, pada tahun 1998, Andi Munadjat datang kembali ke Filsafat. Dia menuturkan pada Kiswondo, yang menemuinya saat itu, kalau dirinya masih dikejar-kejar. Dia juga bercerita tentang pengusiran dirinya dari Kalimantan oleh aparat keamanan di sana (beberapa tentara bersenjata mengantar pengusirannya hingga naik kapal yang akan membawanya ke Jawa). Berdasarkan penuturan Kiswondo menunjukkan Andi Munadjat pada periode 1995-1998 masih melakukan kerja-kerja perlawanan. Itulah cerita terakhir tentang Andi Munadjat yang sempat terdengar, sebelum kemudian sosoknya muncul kembali lewat goresan tinta dalam halaman koran Banjarmasin Post yang mengabarkan bahwa dia telah pergi untuk selama-lamanya.
Sekarang, setelah kematiannya, Andi Munadjat hendak dijadikan berhala oleh angkatannya yang sekarang sudah membusuk. Pada acara di Jogja malam itu, Yuli Eko Nugroho, dengan lantang memuji-memuji Andi Munadjat setinggi langit (sampai langit tingkat 8). Padahal ketika Andi Munadjat masih bergiat membangun gerakan kiri, dia salah satu yang membenci Andi Munadjat sampai tulang sumsum. Tingkah laku “omong kosong” seperti yang ditunjukkan Yuli Eko Nugroho memang sungguh memuakkan. Pujian tak akan menggelembungkan makna Andi Munadjat. Pun, caci maki tak akan mengerdilkan peranannya. Lantas untuk omong kosong itu terus-menerus dimamah biak?

Setelah kematiannya, konon kabarnya sejarah Andi Munadjat akan dituliskan. Semua yang berkaitan dengan Andi Munadjat dikumpulkan. Segala sesuatu tentang Andi Munadjat yang dulu dianggap tidak penting, sekarang menjadi berharga (kalau perlu celana dalam Andi Munadjat yang dulu dipakai dalam aksi-aksi penting dicari, setelah itu dipamerkan keliling kota dengan tajuk: Pameran celana dalam aktivis yang lurus dan jujur. Fotonya sekarang bertebaran di Kitab Tampang (Face Book). Diserukan pada siapa saja yang mengetahui informasi tentang Andi Munadjat untuk angkat bicara.

Begitulah pondasi berhala bernama Andi Munadjat mulai dibangun. Berhala itu memang perlu dibangun. Tujuanya agar angkatan Andi Munadjat yang sekarang telah busuk bisa tertolong. Paling tidak mereka bisa berkata: Kami memang telah busuk. Ada di antara kami yang dekat dengan Bais. Ada di antara kami yang dekat dengan jendral penculik. Ada di antara kami jadi gigolo politik. Tapi tunggu dulu. Lihatlah kawan kami, Andi Munadjat. Dia aktivis yang lurus dan jujur. Lihat saja. Sampai ruhnya meninggalkan raga dia masih setia dengan cita-citanya, membela yang tertindas. Oleh karena itu, namanya akan kami pigura dengan pigura bersepuh emas. Jejak langkahnya akan kami abadikan dengan buku yang penuh puja-puji dan karangan bunga anggrek putih.
Selama ini, selain para raja, Orde Baru-lah yang paling gemar membuat berhala. Berhala-berhala Orba bisa berwujud patung, monumen sampai buku. Tujuanya, agar sejarah kelam mereka bisa tertutupi dengan berhala itu. Sekarang, rupanya orang-orang yang seangkatan dengan Andi Munadjat juga memerlukan berhala. Tentu saja berhala itu akan mereka poles dengan indah dan penuh kemegahan agar semua orang bisa melihat “pancaran suci” sosok Santo Andi Munadjat, sementara kawan-kawan angkatanya yang telah busuk berdiri di belakangnya. Aih. Aih….

Entah mengapa. Sosok Andi Munadjat tiba-tiba berubah menjadi Soe Hok Gie. Dia dibutuhkan agar angkatannya yang kini penuh belang bonteng, terselamatkan.
Kita tunggu bagaimana ujud berhala itu akan dibentuk dan diramu.

Penutup
Sekedar pertanyaan penutup:
Apakah sejarah “versi Jakarta” yang akan ditulis Wilson dkk akan menempatan Andi Munadjat sebagaimana tempatnya? Atau, apakah sejarah yang disusun itu hanya sejarah basa-basi saja; sejarah tipu muslihat untuk menyelamatkan sebuah angkatan yang sekarang telah membusuk; sejarah amputasi, memotong sana-sani bagian yang akan mengungkap kebobrokan sebuah angkatan?


Lereng Merapi, 5 April 2009

@Ragil
(Juru Tulis Pinggiran/Penggemar Valentino Rosi dan Maradona)

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=83650773160&ref=mf)

:: Andi Munajat yang Ku Kenal

oleh : Yul Amrozi

Pertengahan tahun 92, di Jetis Cokrodiningratan Jogjakarta aku bertemu dengan Andi Munajat. Namanya jelas, Andi Munajat dengan wajah yang terlihat kuyu dia adalah laki-laki bermata tajam dengan kulit gelap dan aksen sunda kental dari mulutnya, saat itu dia adalah penghuni kamar ketiga dari depan bersebelahan dengan kamar Johnsony Tobing. Kami adalah penghuni rumah itu. Rumah itu besar dengan luas bangunan 8 x 15 m2, Cokrodiningratan JT II 217 (nomor bisa salah) dengan 6 kamar dan satu pavilyun.

Rumah itu tempat kami menimba ilmu dan meretas jalan hidup, kami adalah satu Group diskusi mahasiswa yang bernama Keluarga Mahasiswa. Saat aku pertama di sana aku tidak cukup tahu bahwa Keluarga Mahasiswa adalah salah satu group gerakan mahasiswa yang merintis perlawanan terhadap rejim Suharto sejak akhir 80-an hingga pertengahan 90-an. Yang kutahu adalah Andi Munajat adalah salah satu penghuni tetap Jetis Cokrodiningratan dan hampir dipastikan dia sering berada di sana.

Selain Andi Munajat, di rumah itu tinggal juga Johnsony Tobing, yang belakangan baru dikenal sebagai pencipta lagu pergerakan mahasiswa Darah Juang. Dengan rambut keriting gondrong ala Iwan Fals dia sering memainkan gitar listrik di kamarnya yang jarang dia buka pintunya. Hanya Andi Munajat yang kamarnya tidak pernah dia tutup, mungkin karena memang kamarnya hanya berisi kasur butut dan satu lemari plastik tempat pakaian Andi. Kamar Andi hanya akan dia tutup kalau pacar dia, Kiki, datang. Tentu saja kami penghuni rumah Jetis maklum dengan kedatangan orang spesial Andi dan sudah dipastikan kami para penghuni tidak akan mengganggu Andi jika saat-saat berharga itu datang.

Di belakang kamar Andi Munajat adalah bekas dapur yang oleh pemilik rumah diluaskan dengan tiga kamar tambahan dengan dua kamar mandi dan dua toilet. Perlu diingat bahwa kamar mandi maupun toilet hanya ditutup dengan lembaran karpet plastik yang dulu berwarna merah. Di depan kamar mandi terdapat satu kompor minyak tanah butut dengan sumbu yang nyaris selalu tandas gosong karena anak-anak biasa memasak di sana tanpa pernah rajin memeriksa minyaknya. Sering Si Sugeng Kecil, anak STM Jetis yang kos juga di sana ketiban sial harus memperbaiki sumbu kompor yang dengan semena-mena selalu dipaksa memasak air untuk dibikin kopi bagi para tukang diskusi seperti Andi Munajat, Sugeng Bahagijo, Satya Widodo, Ngarto Februana, Hari Subagyo, Budiman Sujatimiko, Weby Warrow, dan Dadang Yuliantoro (dia sudah sangat jarang kelihatan waktu aku kenal Andi di Jetis).

Aku beruntung bisa menempati satu kamar belakang bersama dengan Sugeng Kecil, di sana aku bisa menitipkan barang-barangku yang juga tidak seberapa. Di sebelah kamarku tinggal Fajar Pratikto, anak Sejarah UGM yang sama-sama berasal dari kampungku Brebes. Di sebelahnya lagi tinggal Eddy Haryadi, dengan alis dan kumis tebal, tubuh cukup besar dengan kulit terang mirip keturunan cina, dia jarang sekali memakai baju atas, dalam keseharian dia biasanya hanya memakai celana panjang di bawah lutut berwarna hijau tentara yang entah sudah berapa lama tidak pernah dia cuci.

Mereka semua adalah mahasisa UGM, yang kebanyakan berasal dari fakultas Filsafat dan Sastra. Aku, mahasiswa baru 92 yang datang dengan lugu sepertinya saat ini harus merasa beruntung karena bisa bertemu dengan mahluk-mahluk kumuh dan jorok tetapi otaknya terang benderang seperti matahari pagi. Untung saja aku juga mahluk yang jorok dan tahan kotor hahaha perpaduan yang pas dengan orang-orang jarang mandi tetapi mulutnya bau asap rokok . Andi Munajat adalah salah satunya.

Dia dengan sarung putih tenun yang lusuh dan hampir-hampir berwarna krem karena jarang dicuci, dengan bau mirip jok becak, dia biasa duduk di karpet ruang tengah berwarna hijau depan kamarnya menghadap ke sebuah meja kecil tanpa TV yang berserakan koran-koran lokal seperti Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Yang tidak pernah lupa di karpet itu adalah asbak yang selalu penuh dan gelas-gelas kopi bekas diminum yang selalu tidak pernah diurus sisa-sisa pembuangannya. Di sana berlaku hukum siapa yang ingin minum harap mencuci gelas yang masih ada, setelah minum biarkan saja toh nanti juga akan dicuci sama yang butuh.

Andi Munajat boleh dibilang adalah penghuni tetap Karpet Hijau, di karpet yang penuh dengan noda kopi ini dia biasa mengajak bicara penghuni Jetis ataupun tamu-tamu yang kerap kali hilir mudik ke tempat itu. Aku adalah sasaran empuk Andi Munajat, dia tahu betul bahwa aku adalah seorang yang datang ke Jogja dengan latar belakang Islam perkotaan yang kuat. Aku masih ingat bahwa aku membawa satu kotak Indomie yang penuh dengan majalah Al Muslimun (sekarang gak tahu masih ada atau tidak, mirip Sabili saat ini) saat aku pertama datang ke Jogja. Andi Munajat tahu betul bahwa dalam otakku telah terpatri dengan kuat ideologi Islam pantai utara Jawa yang identik dengan kalangan Muhammadiyah. Andi Munajat dengan mata sayu kemerah-merahan akan selalu mengganggu aku dengan berbagai cara dia bertanya atau berbagai argumentasi dia yang akan selalu membuat aku pusing dan terpaksa berpikir dan membaca banyak.

Itulah Andi Munajat, mungkin kalau orang pernah membaca riwayat Socrates, Andi Munajat adalah Socrates dari Pangandaran, dia akan bertanya padaku apa yang disebut dengan keadilan, bagaimana dengan kepedulian, apakah kemiskinan itu takdir, bagaimana dengan ketidakadilan, apakah pendidikan saat ini sudah membawa pada kemajuan, apakah pendidikan bisa membebaskan, bagaimana sosok Muhammad dalam islam menghadapi penindasan, bagaimana dengan ide-ide perjuangan keadilan, apakah sejarah saat ini memang benar-benar menceritakan hal yang sesungguhnya, bagaimana dengan tragedi politik dalam sejarah, pendek kata Andi Munajat selalu tahu bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat bagi orang-orang dengan isi kepala yang berbeda-beda.

Dalam hatiku kubilang, sialan, anjing, si Andi ini selalu saja membuat aku tidak nyaman, membuat aku berpikir keras sampai aku mencret-mencret. Belakangan baru aku tahu bahwa setiap orang yang sudah melewati fase "Andi Munajat" selalu mendapatkan ritual mencret-mencret itu. Mereka yang mungkin satu angkatan mencret itu adalah Danuri Susetro, Suyanto, dan Nuraini.

Oh ya saking lihainya Andi Munajat dalam mengajak diskusi yang luar biasa "menyakitkan" kalau dalam istilahku, dia bahkan punya seorang "pacar' tetap dalam diskusi yang selalu berkunjung ke Jetis Cokrodiningratan hanya untuk bertemu dengan Andi. Dia bernama Ipun, entah sekarang dia berada di mana, aktivis kalau tidak salah dari Janabadra atau Uncok aku tidak tahu pasti. Dia selalu berkunjung minimal seminggu sekali dan pasti menanyakan keberadaan Andi Munajat untuk bertanya dan bertanya tentang hal-hal yang membuat dia resah sampai si Andi perlu membuat permintaan khusus buat kawan-kawan di Jetis untuk membohongi Ipun bahwa Andi tidak ada di tempat karena Andi sudah tidak tahan lagi dengan keluhan dan pertanyaan-pertanyaan Ipun yang tatapan matanya melihat Andi seperti Dewa Filsafat.

Tapi harus diakui Andi Munajat adalah pemecah otak, siapa yang tidak terteror dengan pertanyaan Andi barangkali hanya orang yang benar-benar Bodoh atau mungkin sama sekali Ignorance. Kata-kata dalam mulutnya seperti tusukan jarum yang memecah otak, permintaan-permintaan sepelenya akan membuat kau jengkel, bau badannya membuat kau muak, tapi kegigihannya dalam diskusi dan kemudian dibuktikan dalam perjuangan gerakan radikal hingga saat ini barangkali tidak ada tandingannya.

Andi Munajat adalah peretas jalan dan penjahit pola gerakan yang mendirikan SMID atau SSDI, Andi Munajat dalam muhibah dari kota-kota di Jawa dia bisa menghubungkan gerakan mahasiswa Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya dan Jakarta menjadi cikal bakal berdirinya SMID. Dengan gigihnya dia mengalahkan macan-macan forum di kota-kota itu, dengan perkawanannya dia membangkitkan semangat kolektif di masing-masing kota, dengan kegigihan dan pengorbanannya dia mengilhami setiap kawan bahwa perjuangan yang ditempuh memang mengorbankan semuanya bahkan nyawa.

Militansi, kesabaran intelektual, keuletan, dan disiplin organisasi adalah yang paling terlihat dalam sosok Andi Munajat di era 90-an awal. Tanyakan pada aktivis mahasiswa Jogjakarta tahun 90-an mereka pasti tahu seorang Andi Munajat. Dari Andi Munajat juga aku menerima tips yang mungkin terlalu sederhana pada waktu itu, dari Andi Munajat aku mengenal dunia komputer, jujur saat itu Andi Munajat sudah cukup canggih dalam memahami dunia komputer sekalipun dia mungkin tidak punya skilnya. Andi Munajat bisa menunjukkan padaku tempat-tempat untuk bisa mencetak komputer dengan harga miring dan kualitas cukup bagus dengan teknologi komputer terbaru waktu itu. Dari Andi Munajat aku kemudian belajar sendiri tentang Software-software grafis karena aku ingin membuktikan kepada si Andi ini bahwa aku bisa menerima petunjuk dari dia.

Satu setengah tahun mungkin aku mengenal Andi Munajat, di akhir 93 Andi Munajat melakukan Muhibah yang kemudian mampu mendirikan SMID dan belakangan PRD. Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi sempat kembali ke Jetis ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan karena sedang melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa. Rumah Jetis kemudian berpindah ke Sendowo FI52, tapi entah kenapa dalam benakku rumah Jetis adalah rumah Andi Munajat rumah kami Keluarga Mahasiswa yang pernah bermimpi tentang Indonesia yang lebih berkeadilan.

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=76825147570&ref=mf)

:: Sang Peletak Pondasi Telah Pergi

INMEMORIAM ANDI MUNAJAD, (Wafat 27 Maret 2009) Friday, March 27, 2009 at 9:37pm

Saya memasuki koridor Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok bersama beberapa orang kawan . Saya masuk kedalam sebuah bangsal pasien kelas ekonomi yang berjejer seperti ikan pindang. Mata saya memandang setiap tempat tidur pasien mencari seseorang. Saya bola-balik untuk memastikan apakah pandangan saya yang salah. Untuk lebih memastikan saya menuju kamar mandi pasien membuka pintunya dan ternyata kosong. Saya lalu mendatangi seorang suster jaga di bangsal itu.

”Suster pasien yang dikasur sana, yang bernama Andi Munajad ada dimana?” tanya saya sambil menunjuk kasur yang kosong. Kemarin andi Munajad kami bawa kesana karena sudah beberapa hari demam tinggi sambil menggigil. Setelah dibawa kerumah sakit dipastikan bahwa ia terkena Thyphus (tipus),sebuah penyakit yang kerap kali menimpa aktivis dijaman itu. Andi Munajad sendiri kemudian terkena Hepatitis B karena pekerjaan yang padat, gizi dan instirahat yang kurang. Suatu kondisi yang lazim untuk aktivis dimasa itu. Setelah mendapatkan ruangan, obat dan infus kami meninggalkan Andi Munajad dengan maksud untuk mencari dana untuk biaya pengobatan.

Saya keluar dari rumah sakit dengan perasaan galau, kuatir dan cemas. Dengan bergegas saya lalu menuju Jl. Fatimah di Pondok Cina, markas kawan-kawan FBB untuk memberi kabar dan mencari tahu keberadaan kawan saya tersebut. Tiba di Jl. Fatimah saya diberitahu oleh kawan-kawan bahwa Andi Munadjad ada di dalam kamar, sedang tergeletak di atas tikar. Saya langsung menemuinya dan bertanya mengapa dia sudah ada di sini bukankah baru kemarin masuk rumah sakit.

”Aku kabur dari rumah sakit semalam son,” ujar Munajad lirih.

”Kenapa pula kau harus kabur, kau kan baru masuk”, ujarku

” Saya tidak mau memberatkan kawan-kawan di Jakarta. Biaya rumah sakit pastilah mahal, dan aku tahu kawan-kawan di sini juga tidak punya dana, lebih baik aku dirawat di sini saja bersama kawan-kawan.”

Saya tidak tahu ingin marah atau sedih, bagaimanpun juga Munajad adalah orang penting dalam organiasi kami, kesehatan dan kehidupannya nyaris berdampak pada gerakan mahasiswa di jaman itu, paling tidak pada lingkaran dan jaringan politik kami di berbagai kota yang saat itu sedang memasuki tahap konsolidasi.


Pembangunan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan

Andi Munajad mungkin nama yang kurang akrab ditelinga generasi aktivis sekarang. Jangankan mengenalnya, mungkin mendengar namanya saja banyak yang baru tahu. Namun bila kita hendak membicarakan kebangkitan dan pengorganisiran gerakan mahasiswa raikal, progresif-kerakyatan di akhit tahun 1980-an, maka Munajad adalah salah SEORANG PELETAK PONDASINYA. Di atas pondasi yang dia bangun bersama kawan-kawannya, bangunan gerakan mahasiswa raikal kerakyatan tumbuh dan berkembang dan kemudian terkristalisasi dalam pembentukan Partai Rakyat Demokratik.

Munajad tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (mungkin angkatan 1985) yang kemudian menjadi fakultas basis gerakan mahasiswa radikal seperti SMID dan PRD hingga awal reformasi. Ia dikenal sebagai pendiri majalah filsafat PIJAR, yang saat itu menjadi salahsatu terbitan radikal yang isinya memuat sebuah bentuk oposisi dan perlawanan dari mahasiswa dan rakyat. Dari majalah Pijar inilah proses pendidikan politik dan rekutmen aktiis di Filsafat UGM tahap awal dilakukan, termasuk disini ada istri saya Nor Hiqmah atau Nezar patria yang sekarang menjadi Ketua Umum AJI.

Gerakan mahasiswa di Yogya mulai tumbuh sebagai gerakan radikal sejak pertengahan tahun 1980-an dan makin terkristalisasi ketika kasus pembangunan waduk Kedung Ombo yang dibiayai World Bank mulai dilakukan oleh pemerintah Orba dengan melakukan pengusuran paksa. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta menjadi basis solidaritas untuk mengorgansisir mahasiswa untuk menolak pembangunan kedung Ombo baik dengan aksi-aksi di Yogya, Jakarta maupun di lokasi pembangunan waduk di Kedung ombo sendiri. Munajad adalah salah seorang pelaku utama dari aksi-aksi solidaritas ini. Solidarits Kedung Ombo menjadi penting buat gerakan mahasiwa karena menyeret mahasiswa pada isu-isu populis-kerakyatan, penentangan pada kapitalisme global dan menjadi alat konsolidasi gerakan mahasiswa sekaligus.

Pada awal tahun 1990an tersebut bermunculan berbagai poros perlawanan gerakan mahasiwwa dan rakyat yang saling terkait satu sama lain. Kelompok Rode yang bermarkas di jalan Rode menjadi salah satu basis gerakan yang penting sat itu. Dari sini juga lahir Budiman Sudjatmiko yang menjadi ketua PRD dan sekarang aktivis PDIP hingga Ifdal Kasim yang menjadi Ketua Komnas Ham sekarang ini. Basis lain adalah kelompok FKMY yang merupakan wadah gerakan mahasiswa ditingkat lokal yang dipimpin oleh mahasiswa ISI Yogyakarta yaitu Seno dkk. Munajad terlibat dalam awal-awal pementukan FKMY, namun kemudian ia keluar dan mendirikan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, yang menjadi embrio dari SMID Yogyakarta dimana dia sebagai koordinatornya. Selain itu juga muncul kelompok Komite Rakyat (KR), sebuah organisasi yang mempunyai ikatan dan pengaruh di gerakan mahasiswa untuk memberikan perspektif kerakyatan dan ideologis. Figur yang dikenal luas di KR ini adalah Awang dan Webi Warouw. Dalam pembentukan dan perjalanan kemudian antra KR dan SMID mempunyai keterkaitan politik dalam upaya pembangunan gerakan-gerakan sektoral yang lebih luas dan pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik. Dalam konteks inilah Munajad tumbuh sebagai seorang organiser dan tokoh gerakan mahasiswa tingkat lokal yang juga dikenal luas oleh jaraingan gerakan di kota-kota lain.

Sejarah politik Munajad selanjutnya akan berkisar disekitar pembangunan gerakan mahasiswa radikal progresif kerakyatan berwatak nasional bernaman Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID). Dan harus di akui SMID tidak hanya memberikan dampak luas dalam gerakan mahasiswa tapi juga untuk gerakan buruh progresif, gerakan tani, gerakan kaum miskin kota hingga pembentukan Partai Rakyat Demokratik. Dari seluruh pembangunan organ gerakan rakyat tersebut PARA AKTIVIS SMID MENJADI ORGANISER-ORGANISER HANDAL yang kemudian keluar dari gerakan mahasiswa dan bertransformsi dalam pembangunan gerakan rakyat di basis-basis perkotaan, industrial dn pedesaan.

Gagasan pembentukan SMID sudah dibicarakan sepanjang tahun 1992 untuk mengatasi sektarianisme dan tidak adanya kesatuan aksi dan tindakan sebagai buah dari perlawanan mahasiswa sejak akhir 1980-an. Akhirnya sekitar bulan November 1992, dengan ’mendompleng’ pada workshop Asian Students Association di Cisarua, Bogor, diadakan pertemuan perwakilan antar kota untuk mengatasi sektarianism. Hasil dari pertemuan tersebut adalah dibentuk organisasi yang masih cair berbentuk Presidium Nasional yang diwakili perwaklian tiap kota dengan nama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Terpilih sebagai koordinator Presidium adalah Andi Munajad, wakil dari SMY yang dianggap bisa diterima semua kelompok dan mewakili gerakan mahasiswa termaju dijaman itu. SMID saat itu tak lebih kapsitasnya sebagai wadah komunikasi antar gerakan, belumlah menjadi sebuah wadah unitaris seperti perkembangannya dikemudian hari.

Munajad menindak lanjuti hasil pertemuan Cisarua itu dalam suatu ikatan organissasi dan program-program bersama dan pembentukan kepengurusan yang akan menjadi mesin konsolidasi jaringan. Munajad lalu mengadakan Konfrensi Yogyakarta pada tahun 1993 dirumah Danuri, aktifis SMY di sebuah desa yang kami sambangi tengah malam buta dengan berjalan kaki.

Konferensi SMID di Yogyakarta di hadiri oleh perwakilan-perwakilan presidium organisasi dari daerah yang saat itu masih menggunakan ’identitas lokal’ mereka. Perwakilan yang hadir antara lain dari Solidaritas Mahasiswa Jakarta (SMJ), Solidaritas Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, perwakilan dari Solo, perwakilan dari Surabaya. Salah satu hasil penting dari konferensi adalah mengukuhkan Andi Munajad sebagai Sekjen SMID dan membentuk pengurusan organisasi. Hasil penting dari pertemuan adalah upaya untuk mengubah ’identitas organisasi lokal’ menjadi organisasi nasional dengan mengubah organisasi lokal menjadi organisasi cabang-cabang SMID. Sejak itu diisntruksikan agar aksi-aksi di lokal mulai menggunkana nama SMID. Status SMID juga diputuskan berstatus semi-legal, artinya dalam aksi-aksi terbuka program dan banner SMID dapat dikibarkan, namun kepengurusan dalam strukturnya tetaplah tertutup kepada penguasa. Juga dibicarakan tentang perluasan kontak organisasi SMID ke kota-kota lain seperti Manado, Palu, Makasar, Medan. Konfrernsi juga memutuskan kepengurusan yang terbentuk ditugasi untuk mempersiapkan sebuah Kongres Mahasiswa untuk pembentukan SMID secara lebih luas dan legitimate pada tahun 1994. Dalam kepengurusan SMID tersebut saya duduk sebagai star Dept. Pendidikan dan Propaganda dan Hubungan Internasional, sebab saat itu SMID sudah menjadi anggota Asian Students Association yang bermasrkas di Hong Kong.

Konferensi Yogykarta menjadi penting karena mulai sat itu diletakan pondasi gerakan mahasiswa radikal-progresif-kerakyat
an yang berwatak nasional untuk mengatasi watak sektarianisme yang melekat pada organ-organ mahasiswa di tingkat lokal jaman itu. Konferensi Yogyakata juga menjadi penting dalam perluasan geografi perlawanan mahasiswa radikal kerakyatan yang saat itu sangat berpusat pada jawa-sentris dengan membangun jaringan dengan gerakan mahasiswa di Manado, Palu, Medan dan Makasar. Kota-kota yang dikemudian hari berdiri cabang-cabng SMID . Munajad berperan bagaikan seorang ’konduktor’ yang sangat menentukan dalam proses orkestra pembangunan gerakan mahsiswa radikal tersebut. Sebagai Sekjen ia berkeliling ke berbagai kota untuk membangun jaringan SMID, memberikan pendidikan politik, dan terlibat dalam berbagai aksi.

Boleh dikatatakan tidak ada waktu bagi Munajad untuk beristirahat. Saat itu belum ada internet dan handphone untuk koordinasi. Semua harus dilakukan dengan pertemuan fisik. Saya menduga semua pekerjaan besar tersebut menjadi salah satu ’sebab utama’ Munajad terkena thyphus dan kemudian Hepatitis B. Pekerjaan tersbut sangat tidak diimbangi dengan istirahat dan cakupan gizi yang masuk kebadan. Benda yang paling sering masuk ke dalam tubuhnya adalah kopi dan tarikan asap rokok. Perjalanan antar kota juga tidak dinikmati dengan pesawat seperti kemanjaan aktivis sekarang, tapi harus menjadi penumpang gelap kereta ekonomi dan kucing-kucingan dengan kondektur dan Polsuska. Dalam urusan penumpang gelap ini tampaknya hampir semua aktivis SMID dijaman itu terlatih dengan baik. (he..he..he).

Pertemuan penting yang sangat menentukan strategi SMID adalah pertemuan presedium Nasional dan cabang-cabang SMID di Jakarta, di kawasan Cilincing, Jakarta Utara di rumah Ari Kumis, salah seorang anggota SMID dari ISTN.

Sekitar pertengahan April 1994, merespon pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik dan mulai merebaknya aksi-aksi perlawanan kaum buruh, kepemimpinan SMID nasional di bawah Munajad memutuskan mengagendakan sebuah rapat Presidium Nasional SMID yang dihadiri perwakilan dari Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang dan Surabaya.

Hasil rapat Presidium SMID yang dipimpin Andi Munajad ini ini menurut saya menjadi penting karena MENJADI PONDASI BAGI GERAKAN MAHASISWA RADIKAL KERAKYATAN UNTUK BERTRANSFORMASI MENJADI GERAKAN BERWATAK KELAS. Inilah pondasi kedua yang dibangun SMID di bawah kepemimpinan Andi Munajad. Di atas pondasi yang dia letakan ini tumbuh dan berkembnang gerakan buruh radikal seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan FNPBI sebagai suksesornya.

Melihat terus berlanjutnya perlawanan kelas buruh, kita sadar bahwa ANDI MUNAJAD TIDAK PERNAH AKAN MATI, DIA ADA DITIAP LANGKAH PERLAWANAN KELAS PEKERJA.

Ada baiknya kalau kita mengetahui sedikit konteks dan kontribusi dari SMID saat itu pada pembangunan percepatan gerakan buruh dan memberikan orientasi ideologis berbasis kelas pada gerakan mahasiswa jaman itu.

Dari Gerakan Mahasiswa menuju Gerakan Buruh

Keputusan penting dan monumental dari Rapat Presidium SMID di Cilincing adalah interfensi gerakan mahasiswa dalam gerakan buruh, mendorong pembentukan serekat buruh dan aksi-aksi aliansi antara buruh dan mahasiwa. Sebuah era baru dalam strategi gerakan mahasiswa akarnya dapat ditarik dari keputusan organisasi SMID pimpinan Munajad dalam rapat pleno Cilincing ini. Dari sinilah secara massif para kader SMID terjun ke wilayah industri, membangun kontak dengan buruh, berdiskusii, mencatat penindasan industrial dan lalu mengorganisir pemogokan. Dari sinilah kristalisasi ideologisasi sosialisme di dalam SMID tumbuh meluas dan menjadi keyakinan baru dengan kelas buruh sebagai pelopor utamanya.
Harus diakui salah satu pekembangan yang juga penting dalam sejarah gerakan kiri Indonesia adalah peran yang diambil oleh gerakan mahasiswa untuk mendukung perjuangan kaum buruh. Masuknya mahasiswa dalam perjuangan buruh terpolarisasi dalam perjuangan moral dan perjuangan yang lebih ideologis untuk menghadapi kapitalisme.
Sejak tahun 1990 hingga Juli 1996, tercatat 32 aksi buruh yang mendapatkan dukungan dari mahasiswa. Aksi ini terjadi di Yogyakarta, Surabaya, Jombang, Medan, Jabotabek, Solo, Palu dan Semarang. Kelompok-kelompok yang terlibat dalam aksi tersebut meliputi Solidaritas Forum Komunikasi Mahaiasiwa Yogyakarta (FKMY), Solidaritas Komite Mahasiswa Pembela Buruh Indonesia, Aksi Komite Solidaritas Mahasiswa untuk Hak-Hak Pekerja, Aksi Doa Solidaritas Untuk Marsinah, Komite Solidaritas Buruh-Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Forum Solidaritas Pembelaan Hak-Hak Buruh dan Aksi Solidairtas Buruh-Mahasiswa IAIN Semarang.
Selain terlibat dalam berbagai aksi, banyak pula kelompok studi ‘kiri’ yang juga terkait dengan gerakan mahasiswa yang melakukan pengorganisiran ke buruh dengan bekerjasama dengan LSM, yang bertindak sebagai fasislitator.
DI Jakarta kelompok Forum Belajar Bebas yang terdiri dari aktivis mahasiswa UI melakukan pengorganisiran buruh di Jabotabek. Dari keompok ini kemudian lahir salah seorang pimpinan perjuangan buruh Dita Sari yang saat itu masih menjadi mahasiswa FHUI. Mayoritas anggot FBB adalah mahasiswa Fakultas Sastra. Dalam pengorganisiran kelompok ini juga dibantu oleh Yayasan Maju Bersama, sebuah LSM perburuhan yang dipimpin oleh para alumnus fakultas sastra yang aktif dalam advokasi dan pendidikan perburuhan.
Di luar FBB juga terdapat kelompok studi kiri Wahana Pembebasan dan Depok School yang melakukan pengorganisiran kaum miskin kota dan buruh dengan difasilitasi oleh Yayasan Kepodang, sebuah yayasan yang bergerak dalam pendidikan pembebasan bagi kaum miskin dan marginal. Para pendiri yayasan ini adalah para alumnus FISIP UI. Mayoritas anggota kelompok ini adalah mahasiswa FISIP UI. Beberapa pendiri Yayasan kepodang ini juga menjadi pendiri Yayasan Maju Bersama.
Di Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya juga melakukan pengorganisiran pada buruh industri dan truk di Tandes dan Surabaya. Kelompok inti dari FKMS adalah para mahasiswa Fakultas Hukum Unair dan ITS Surabaya. Kelompok ‘kiri’ ini juga berhubungan dengan para senior mereka yang aktif di LSM Cakrawala Timur (CT). CT bergerak dalam pendidikan dan advokasi perburuhan.
Di luar FKMS, kelompok PMII Surabaya juga melakukan pengorganisiran buruh di kawasan Rungkut, Surabaya. Sementara di Solo beberapa mahasiswa HMI juga terlibat dalam pengorganisiran dan pendidikan perburuhan. Di Medan para mahasiswa juga terlibat dalam pengorganisiian dan pendidikan kaum buruh. Salah satu LSM yang menjadi fasilitator adalah Yayasan KPS.
Dari semua kelompok di atas, SMID adalah organisasi mahasiswa yang secara tegas, teroganisir dan ideologis dalam memberikan dukungan kepada gerakan buruh. SMID dideklarasikan pembentukannya sebagai organisasi legal yang terbuka pada tanggal 3 Agustus 1994 di Jakarta. Organisasi ini mempunyai cabang diberbagai kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam program perjuangan SMID dikatakan persoalan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari persoalan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat Indonesia menurut SMID adalah masyarakat kapitalis yang didominasi oleh konglomerat dan kaum imperialis. Untuk mendukung kapitalisme tersebut digunakanlah sebuah pemerintahan yang otoriter. Semua partisipasi rakyat dalam politik di tindas dan dibungkam. Dengan Dwi Fungsi ABRI rejim militer menindas seluruh ruang demokrasi.
Dalam program politik SMID juga dikatakan “Mendukung dan terlibat dalam perjuangan buruh, petani, dan sector rakyat tertindas lainnya”. Pada alinea pertama butir satu dikatakan bahwa SMID “Memperjuangkan terbentuknya serikat buruh yang demokratis, melakukan aksi bersama-sama buruh, mengkampanyekan isu-isu buruh.” Dalam sebuah diskusi tentang gerakan buruh yang didakan oleh SMID dan YLBHI di Depok, salah seorang panelis yang mewakili SMID, Jacobus Kurniawan (dikenal dengan sebutan Iwan pilat) menulis:

“ Tidak ada persepsi yang mayoritas dari mahasiswa bahwa gerakan buruh adalah gerakan yang mempelopori atau merebut demokrasi. Saya pikir gerakan protes dari mahasiswa itu harus kita dorong untuk kepentingan kelas pekerja. Kita harus memanfaatkan radikalisme aksi-aksi protes dari gerakan mahasiswa dengan mengangkat sentimen-sentimen kerakyatan ini… Adalah dari hasil gerakan mahasiswa yang kita dorong untuk melahirkan kader atau pimpinan yang militan dan tangguh serta teruji dalam praktek untuk menceburkan atau dicemplungkan ke massa kualitiatif atau buruh, dimana dia bisa mengalami secara riil, dimana dia bisa menggunakan senjata bertempurnya yang selama ini dipelajari kedalam gerakan buruh…Dari mahasiswa yang sudah teruji dan organisasi buruh yang sudah teruji bisa dipertemukan sebuah agenda politik bersama dimana tuntutan untuk kebebasan berorganiasi disetiap sector masyarakat akan diperjuangkan.
Kenapa Kelas buruh atau gerakan buruh menjadi kiblat kita?
Sejarah mencatat dari negara yang benar-benar demokratis bahwa kepeloporan yang demokratis yang dipimpin atas inisiatif dari gerakan buruh yang diwarnai oleh ilmu-ilmu atau teori-teori yang maju, yang berangkat dari kaum terpelajar atau mahasiswa. Artinya kita bisa lihat atau kawan-kawan yang sudah berpengalaman dalam mengorganisir pemogokan di pabrik kita bisa lihat bahwa kekuatan buruh adalah riil, dia bisa menjatuhkan keuntungan pabrik yang selama satu hari bisa 100 juta lebih. Dari situ kita bisa lihat kepeloporan atau pondasi riil secara politik dan secara ekonomi… Kita bisa membayangkan jika bisa mengorganisir buruh disetiap kota untuk melakukan pemogokan, tuntutan yang dilakukan terhadap pemerintah, terhadap negara yang kapitalis, akan kita uji dari pengorganisiran pemogokan yang selama ini kiat lakukan.”

Pertarungan internal didalam SMID untuk memberikan kepemimpinan ideologis apakah SMID akan memprioritaskan kepada kelas buruh atau kaum tani terjadi dalam pertemuan Presidium Nasional SMID di Jakarta pada bulan April 1994.
Dalam pertemuan tersebut terdapat dua kubu utama, yaitu kubu Jakarta’ yang terinspirasi dengan taktik-strategi kaum Bolshevik berhadapan dengan ‘kubu Yogyakarta’ yang terinspirasi dengan perjuangan kaum tani di RRC. Kubu Jakarta ini mendapatkan dukungan penuh dari SMID Semarang yang juga mempelopori gerakan buruh di Semarang. Kubu Yogyakarta sendiri akhirnya terbelah menjadi dua, sebab beberapa orang pimpinannya kemudian mendukung strategi dari ‘kubu Jakarta”.
Akhirnya pertemuan Presidum Nasional SMID memutuskan bahwa SMID akan memberikan dukungan prioritas dan mengintegrasikan taktik-strategi perjuangannya untuk mempercepat perlawanan dan pengorganisiran kaum buruh.
Untuk sampai pada tahap menjadi bagian dari gerakan buruh SMID memutuskan suatu propaganda nasional untuk mensosialissikan persoalan dan perjuangan kaum buruh di Indonesia melalui serangkaian diskusi/seminar dan terbitan. Untuk itu semua terbitan SMID atau terbitan kampus yang dipengaruhi SMID harus berinisitaif menjadikan isu perburuhan sebagai isu utama, atau menyediakan rubrik khusus untuk mempropagandakan perjuangan kaum buruh.
Dalam terbitan-tebitan mahasiswa tersebut juga mulai dimasukan tulisan-tulisan yang ditulis oleh kaum buruh yang sudah maju. Dalam majalah Vokal, IKIP Semarang, Februari 1995 dimuat sebuah tulisan dari seorang buruhyang berjudul “Mengapa Aku Sebagai Buruh Butuh Demokrasi?”

“Dari semua itu, aku sebagai buruh sadar akan arti pentingya demokrasi bagi kaum buruh, sebab dengan demokrasi aku bisa membentuk organisasi buruh yang demokratis juga. Artinya organisasi yang dibentuk dan dikelola oleh buruh untuk memperjuangkan kepentingan menjadi hidup yang lebih baik. Tidak menutup untuk bekerja bersama dengan mahasiswa yang pro demokrasi”

Setelah tahapan propaganda dilakukan, tahapan berikutnya adalah program eksposure atau live in dilingkungan kaum buruh. Program ini merupakan sebuah seleksi penting, dimana aktivis mahasiswa harus tinggal dipemukiman buruh, mencari kontak, mengetahui persolan di pabrik dan mencatat kehidupan buruh. Dengan cara ini keperpihakan mahasiwa kepada buruh menjadi tidak sebatas teori. Tujuan eksposure ini menurut SMID mempunyai tiga tujuan yaitu:

“Pertama; menghancurkan watak borjuis kecil yang arogan, kelewat teoritis dan oportunis. Dengan hancurnya watak borjuis kecil ini diharapkan para aktivis mahasiswa dapat melakukan bunuh diri kelas dan sadar akan pentingnya kekuatan buruh.
Kedua; Mengetahui secara langsung kehidupan kaum buruh dari hari kehari. Dengan mengetahui kehidupan sehari-hari kaum buruh, para mahasiswa dapat mematerialkan yang dia dapat dari buku-buku dan diskusi.
Ketiga; Melatih mahasiswa untuk paham persoalan buruh dan mampu memblejetinya secara makro/ekonomi-politik.” (Wilson, pamflet, hlm 29).


Bagaimanakah pengalaman sosiologis seorang aktivis gerakan mahasisiwa ketika harus hidup ditengah-tengah kaum buruh? Seorang peserta eksposur perempuan dari SMID Jabotabek, Linda Christanty menuliskan pengalamannya;

“ Bulan Desember tahun lalu curah hujan menggasak sekujur tubuh dan malam menjadi lebih dingin. Aku memasuki lorong sempit gelap yang merupakan pintu gerbang ke sebuah pemukiman buruh yang menyerupai labirin. Bau pesing bercampur tanah menguap dari permukaan jalan setapak yang licin. Bau khas kotoran manusia ikut menguap dari lubang-lubang kakus yang terbuka. Di muka pintu-pintu barak yang terbuat dari kayu kasar murahan dikapur putih, satu dua orang buruh berdiri sambil bercakap dan cekikikan. Musik dangdut terdengar samar-samar, sehingga tak sanggup menghapuskan kesan sunyi di dunia yang satu ini. Seorang nenek tengah meninabobokan cucunya dalam buaian di muka barak yang lain. Ketika aku menanyakan nama seseorang dalam bahasa Indonesia, ia hanya tersenyum dan menjawab dalam bahasa Jawa yang tak ku pahami.
Aku berjalan terus, mengikuti petunjuk peta yang diberikan kepadaku. Lorong yang bercabang-cabang dan pengab itu membuat perutku terasa mual. Sinar Mataharipun tidak dapat leluasa menerobos kedalam, sedangkan lampu listrik kamar 5 watt baru menyala pada pukul lima sore dan dimatikan alirannya pada pukul delapan pagi. Lorong-lorong tersebut diberi atap anyaman bambu, tanpa lubang-lubang udara, membuat siang hari tidak pernah hadir benar disini. Barak-barak berukuran 2 X3 meter persegi diisi oleh tiga sampai empat orang buruh pabrik garmen dan tekstil dikawasan tersebut, dengan uang sewa Rp. 20.000 sebulan. Mereka bekerja sesuai shift yang ditetapkan perusahaan (shift 1: pukul 07.00-15.00, shift 2: pukul 15.00-23.00, shift 3” pukul; 23.00-07.00). dan sering ditambah kerja lembur yang diwajibkan. Upah mereka sangat rendah, sehingga mereka hanya mempunyai anggaran Rp 700-setiap hari untuk tiga kali makan. Utang yang tidak ada habis-habisnya (gali lubang, tutup lubang) sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.
Orang yang belum pernah tinggal dan hidup bersama buruh-buruh tentu mempunyai gambaran dramatis bahwa mereka pasti selalu nampak murung,loyo dan merintih dalam kemiskinan. Gambaran ini setidaknya diyakini sebagai bukti betapa tertindas dan menderitanya kaum buruh dikalangan awam.” (Wilson, hlm 30).


Epilog

Andi Munajad adalah contoh terbaik dari seorang aktivis yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk pembangunan gerakan demokrasi dan kekuatan rakyat. Ketika transisi demokrasi terjadi di tahun 1998, ia merupakan ’unsing hero’ yang mempunyai peran besar didalamnnya. Dengan pondasi gerakan yang ia bangun sejak akhir 1980an, Munajad akan terus kita kenang sebagai kawan, sahabat, ayah dan pejuang yang sederhana, tanpa pamrih dan selalu mengedepankan orang lain dan gerakan diluar kepentingan pribadinya. Sikap-sikap seperti ini justru makin langka kita temui dalam praktek dan kehidupan nyata sekarang ini. Kehilangan sosok sepertinya adalah kehilangan besar buat kita semua, namun dengan pondasi yang ia bangun, maka kita layak untuk berkata bahwa Munajad tidak akan pernah mati, ia akan selalu hidup dalam hati, kenangan dan tiap langkah gerakan yang sampai sekarang terus berlanjut.

SELAMAT JALAN KAWAN ANDI MUNAJAD !

WILSON

*) Tulisan ini untuk mengenang sahabat, kawan, ayah dan pejuang rakyat Andi Munajad yang wafat pada hari Jumat, 27 Maret 2009

(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=72654311418&id=726175644&ref=mf)